ASAS-ASAS HUKUM ADAT
Istilah
Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda "Adat recht ", yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck
Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya" De Atjehers "(orang-orang Aceh). Istilah Adat-recht ini kemudian dipakai pula oleh van
Vollenhoven yang menulis buku pokok tentang Hukum Adat yaitu " Het Adat-recht van Nederlandsch
Indie "(Hukum Adat Hindia-Belanda).
A. Pengertian Hukum Adat
Dalam
arti sempit sehari-hari yang dinamakan Hukum Adat adalah: Hukum asli yang tidak
tertulis yang memberikan pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa
maupun di kota.
Di
samping bagian tidak tertulis dari hukum asli ada pula bagian yang tertulis
yaitu: Piagam, perintah-perintah Raja, patokan-patokan pada daun lontar,
awig-awig (dari Bali), dan sebagainya.
Di
banding dengan yang tidak tertulis, maka bagian yang tertulis ini adalah kecil
(sedikit), tidak berpengaruh dan sering dapat diabaikan.
1. Ter Haar
Ter
Haar membuat dua perumusan, yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa
yang dinamakan Hukum Adat itu, yaitu:
Pertama : Dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul " Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis. Hukum Adat lahir dari dan diperlihara oleh
keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat umum, terutama keputusan
berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan, keputusan
para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan- keputusan itu
karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, melainkan seapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima /
diakui atau setidaknya ditoleransikan olehnya.
Kedua , Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek,
"Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran"
Hukum
adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari
peraturan-peraturan Desa, surat-surat perintah Raja adalah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum
(dalam arti luas) yang memiliki wibawa ( macht, authority ) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku
serta merta (spontan) dan diikuti dengan sepenuh hati. Fungsionaris di sini terbatas pada dua kekuasaan yaitu
Eksekutif dan yudikatif. Dengan
demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam
keputusan-keputusan fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga Kepala
Adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas desa lainnya. Hasil itu bukan saja keputusan mengenai suatu sengketa
yang resmi, tetapi juga di luar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Hasil-hasil itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang
hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota
persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran Beslissingenleer (ajaran keputusan).
2. Van Vollenhoven
Hukum
Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak memiliki
sanksi (oleh karena itu: "Hukum") dan di pihak lain dalam keadaan
tidak dikodifikasikan (oleh karena itu "Adat")
Positif
yaitu hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan kini. Sanksi yaitu reaksi / konsekuensi dari pihak lain atas
pelanggaran suatu norma (hukum). Kodifikasi
yaitu pembukuan sistematis suatu daerah / lapangan / bidang hukum tertentu
sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (yang diatur
segala unsurnya) dan tuntas (yang diatur semua soal yang mungkin timbul).
3. Supomo
Supomo
di dalam "Beberapa catatan tentang posisi Hukum Adat" menulis antara
lain: Dalam tatahukum baru Indonesia baik kiranya guna menghindarkan salah
pengertian, istilah Hukum Adat ini dipakai sebagai sinonim dari:
Hukum
yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif ( non-statutory law );
Hukum
yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan-dewan
Propinsi dan sebagainya);
Hukum
yang timbul karena putusan-putusan hakim ( judgemade law);
Hukum
yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan
hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law ); semua inilah merupakan Adat atau Hukum yang tidak
tertulis yang disebut oleh Pasal 32 UUDS Tahun 1950.
Dari
uraian di atas, Supomo melepaskan perhatian terhadap hal-hal atau bagian-bagian
yang tertulis dan memahamkan Hukum Adat itu sebagai hukum yang tidak tertulis
dalam arti hukum kebiasaan yang tidak tertulis.
Bushar
Muhammad sependapat bahwa Pasal 32 dan 43 UUDS tahun 1950 harus ditafsirkan
secara luas. Jadi hukum yang tak tertulis tidak hanya meliputi yang
hidup dan dipertahankan sebagai peraturan adat di dalam masyarakat ( customary law ) yang disebut Hukum Adat dalam arti sempit, tetapi
juga hukum kebiasaan dalam lapangan ketatanegaraan ( convention ) dan kehakiman atau peradilan. Supomo mengabaikan bagian yang tertulis dari Hukum
Adat karena memang bagian yang tertulis ini sedikit sekali, sehingga dalam
persoalan ini dapat diabaikan.
4. Hazairin
Di
dalam pidato inagurasinya yang berjudul: "Kesusilaan dan Hukum"
berpendapat bahwa seluruh lapangan hukum memiliki hubungan dengan kesusilaan,
langsung atau tidak langsung. Dengan
demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat untuk sesuatu
yang tidak sesuai atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikianlah juga dengan hukum adat; teristimewa di
sini ditemukan hubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan
kesusilaan; pada akhirnya antara hukum dan adat yaitu sedemikian langsungnya
sehingga istilah buatan yang disebut "Hukum Adat" itu tidak
dibutuhkan oleh Rakyat biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan " adat
"itu atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya
sebagai hukum. Selanjutnya Hazairin dalam masyarakat, yaitu bahwa:
kaidah-kaidah Adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah
mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipun ada perbedaan sifat atau perbedaan corak
antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah-kaidah hukum itu, namun
bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh itu adalah
menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dicela atau dianjurkan juga, sehingga
dalam praktik dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada
kesusilaan. Apa yang tidak dapat dilindungi lagi hanya oleh
kaidah-kaidah kesusilaan, diikhtiarkan pemeliharaannya dengan kaidah-kaidah
hukum.
Yang
dimaksud dengan kaidah hukum adalah kaidah yang tidak hanya didasarkan pada
kebebasan pribadi tetapi serentak mengekang pula kebebasan itu dengan suatu
gertakan, suatu ancaman paksaan yang dapat dinamakan ancaman hukum atau penguat
hukum. Uraian Hazairin ini mempengaruhi kita akan suatu
pandangan yang agak lain dari biasa.
Di
sini Hazairin menghilangkan suatu garis atau batas yang tegas antara hukum di
pihak yang satu dengan kesusilaan (kebiasaan, kelaziman, " zede "dan sebagainya) di pihak lain. Hazairin melihat antara hukum (hukum adat) dan
kesusilaan tidak ada suatu perbedaan hakiki. Dapat dikatakan bahwa segala macam hukum yang ada,
yaitu segala macam peraturan dalam hidup kemasyarakatan yang mendapat pengakuan
umum dalam masyarakat itu bersumber pada kesusilaan. Kaidah kesusilaan termasuk kaidah Adat dibaiarkan
pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan dan dijuruskan ke
suatu ancaman paksaan, yaitu: hukuman, pidana, penegak hukum.
Faham
Hazairin tentang Hukum Adat disesuaikan dengan paham rakyat, yaitu baik dalam
arti (adat) sopan-santun maupun dalam arti hukum.
B. Sumber Hukum Adat
Dalam
membicarakan sumber hukum (Adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan
atas dua pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron.
Welbron
adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya.Sumber Hukum Adat dalam
arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup
dalam masyarakat tertentu.Dengan kata lain Welbron itu adalah konsep tentang
keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan
Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti dimana hukum (adat) dapat
diketahui atau ditemukan. Dengan
lain kata sumber dimana dasar-dasar hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam
masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui.
Kenbron
itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas
dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap
hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron itu
adalah:
1.
Adat kebiasaan
2.
Yurisprudensi
3.
Norma-norma Hukum
Islam yang telah meresap ke dalam Adat istiadat masyarakat Indonesia Asli.
4.
Kitab-kitab Hukum Adat
5.
Buku-buku Standar
tentang Hukum Adat
6.
Pendapat Ahli Hukum
Adat.
Dengan
demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam
tulisan-tulisan yang khusus mengambil / membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin pula
merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.
C. Dasar-dasar Pokok dalam Hukum
Adat
Dasar
religio Magis ( Magisch-Religieus )
Dasar
Komune ( Commun )
Dasar
Contant (Tunai)
Dasar
Beton (Visual)
Dasar
religio Magis ( Magisch-Religieus ) adalah pembulatan atau perpaduan kata yang
mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme,
pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.
Kuntjaranigrat
menjelaskan bahwa alam pikiran religiomagis itu memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:
Kepercayaan
kepada makhluk-makhluk halus, rokh-rokh dan hantu-hantu yang menempati seluruh
alam semesta dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh
manusia dan benda-benda.
Kepercayaan
kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat
dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luas biasa,
binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang
luar biasa.
Anggapan
bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai "magische
kracht" dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia
atau menolak bahaya gaib.
Anggapan
bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan kondisi krisis,
menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari
atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.
Bushar
Muhammmad tentang pengertian religio-magis mengajukan kata " participerend cosmisch "yang mengandung pengertian komplek. Orang Indonesia pada dasarnya berpikir, merasa dan
bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-tenaga gaib (magis)
yang mengisi, menempati seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang ada pada
orang, binatang, tumbuh-tubuhan besar dan kecil, benda -benda; dan semua energi
itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu kondisi keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos,
dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rokhaniah, " participatie ", dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus
ada dan terjaga, dan ketika terganggu harus dipulihkan. Memulihkan kondisi keseimbangan itu berujud dalam
beberapa upacara, pantangan atau ritus ( rites de passage).
Dasar
Komune berarti mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan diri sendiri. Dasar korum merupakan segi atau corak yang khas dari
suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari
masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu ada sifat yang
lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum dari
kepentingan individual. Dalam masyarakat semacam itu individualitas terdesak
ke belakang.Masyarakat, desa, dusun yang senantiasa memegang peranan yang
menentukan, yang pertimbangan dan putusannya tidak dapat dan tidak dapat
disia-siakan. Hasil Desa adalah berat, terjadi terus dan dalam
kondisi apapun juga harus diikuti dengan hormat, dengan layanan.
Biasanya
dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat contant(tunai) yaitu prestasi dan contra prestasi dilakukan
sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga.
Dasar contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu
perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum
yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan
waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang
terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar
akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat
menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai
seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri
sendiri. Dalam arti urutan pernyataan, tindakan-tindakan
sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contan itu memiliki arti logis satu
sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu
perbuatan yang contant adalah: jual-beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan
hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.
Pada
umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu
konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan
uang / uang panjer.
Di
dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan agar hal-hal
yang dimaksud, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan
atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda yang terlihat, baik langsung maupun
hanya menyerupai obyek yang diinginkan (simbol, benda yang magis) .
Contoh: panjer dalam maksud akan melakukan perjanjian jual beli atau
memindahkan hak atas tanah; peningset ( panyangcang) dalam pertunangan atau akan melakukan
perkawinan; membalas
dendam terhadap seseorang dengan membuat patung, boneka atau barang
lain, lalu barang itu dihancurkan, dibakar, dipancung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar