Senin, 17 Desember 2012

SENGKETA PEMILUKADA







BAB I


PENDAHULUAN






A. Latar Belakang Masalah


Pemilihan Kepala Daerah baik itu Gubernur maupun Bupati, yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkat Gubernur, Bupati, Walikota serta wakilnya ditentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berdasarkan secara langsung, umum,bebas, rahasia, jujur dan adil Jimlie Ashshiqie 2006, hal: 792),ternyata belum memberikan kontribusi positif untuk pembelajaran politik, dan pembelajaran demokrasi serta dampak ekonomi yang baik dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan negara.






Sebagai tindak lanjut dari UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945 tersebut adalah UU No.32 Tahun 2004, PP No. 105 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah no.17 tahun 2005, Perpu No. 3 Tahun 2005. Hal ini terbukti bahwa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), yang menjadi tolak ukur sebuah negara demokrasi yang baik di era otonomi daerah hampir mendapatkan permasalahan, baik permaslahan hukum, permasalahan konflik di daerah, permasalahan administrasi penyelenggaraan yang memunculkan timbulnya gugatan pelaksanaan Pilkada di banyak wilayah di Indonesia, yang lebih disebabkan oleh berdasarkan data bahwa Pelaksanaan Pilkada di indonesia pada tahun 2008 sampai Agustus 2008 sudah terlaksana sebanyak 169 kali terjadi gugatan terhadap pelaksanaan Pilkada sampai menyisakan :






1. Banyaknya Pelaksanaan Pilkada di Indonesia baik Gubernur maupun Bupati, yang merupakan implementasi dari UU No. 32 Tahun 2004, tercatat Agustus 2008 pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sudah terlaksana, dari 169 kasus hasil pilkada yang digugat di pengadilan, yang di rinci :


a. Pilkada gubernur/wakil gubernur sebanyak 7 kasus,


b. Pilkada bupati/wakil bupati sebanyak 132 kasus,


c. Pilkada wali kota/wakil wali kota sebanyak 21 kasus.


Di antara ratusan sengketa hasil pilkada di Tanah Air, ada tiga kasus yang putusannya menimbulkan perdebatan, yaitu sengketa Pilkada Depok,Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.


Kalau kita lihat proses penyelesaian sengkata PILKADA di Indonesia, dilakukan melalui 3 proses Peradilan, yaitu :


1. Melalui Mahkamah Konstitusi yang merupakan sebuah lembaga tentang pengujian materi yang berkaitan dengan UU dengan acuan dasar UUD No.1945, yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.






2. Mahkamah Agung yang menyangkut tentang hasil akhir Perhitungan suara.






3. Melalui Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi, yang berkaitan dengan Pelanggaran PILKADA, yang menangai KUHAPidana dan Perdata






B. Perumusan Masalah


Ø Jenis-jenis Pelanggaran Pilkada di Indonesia


Ø Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada


Ø Proses penyelesaian Sengketa Pilkada


Ø Alternatif Penyelesaian Sengketa Pilkada










BAB II






ANALISIS MASALAH






Ø Jenis-Jenis Pelanggaran Pilkada di Indonesia






Pemilihan Kepala Daerah sebagai bentuk sebuah demokrasi yang bertujuan untuk mendapatkan Pemimpin Daerah yang diinginkan oleh masyarakat, dengan tujuan terselenggaranya Pelaksanaan otonomi daerah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan, daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, sehingga Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah menjadi cermin dari wujud sebuah demokrasi rakyat, hal didasarkan kepada ketentuan perundangan yang menjadi dasar Pelaksanaan PILKADA sbb :






a. UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945 : Yaitu bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (JimileAshshiqie, 2006, hal:792).


b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara formil kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia.


c. PP No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah


d. Peraturan Pemerintahan No. 17 Tahun 2005, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengankatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.


e. Perpu No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah


f. Peraturan KPU No 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilu Kepala Daerah






Berdasarkan data bahwa Pelaksanaan Pilkada di Indonesia pada tahun 2008 sampai agustus 2008 yang sudah terlaksana sebanyak 169 kali terjadi gugatan terhadap pelaksanaan Pilkada samai menyisakan banyaknya Pelaksanaan Pilkada di Indonesia baik itu Gubernur maupun Bupati, yang merupakan implementasi dari UU No.32 Tahun2004, tercatat Agustus 2008 pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sudah terlaksana, dari 169 kasus hasil pilkada yang digugat di pengadilan, yang dirinci :


a. Pilkada gubernur/wakil gubernur sebanyak 7 kasus,


b. Pilkada bupati/wakil bupati sebanyak 132 kasus,


c. Pilkada wali kota/wakil wali kota sebnayak 21 kasus.


Di antara ratusan sengketa hasil pilkada di Tanah Air, ada tiga kasus yang putusannya menimbulkan perdebatan, yaitu sengketa Pilkada Depok, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.






Pelaksanaan PILKADA di Indonesia yang telah dimulai semenjak tahun 2005, hampir lebih dari 60% menjadi persoalan dalam pelaksanaan Pilkada, hal ini dapat kita lihat berdasarkan tabel 2.1 dibawah ini






Daftar Kabupaten/Kota yang melakukan gugatan Hasil Pilkada :






Tabel 2.1








No


Kabupaten/Kota


Provinsi


Keterangan



1


Tanggerang


Banten







2


Padang Lawas


Sumatera Utara







3


Tapanuli Utara


Sumatera Utara







4


Donggala


Sulawesi Utara







5


Minahasa


Sumatera Barat







6


Pariaman


Sumatera Barat







7


Makassar


Sulawesi Selatan







8


Purwakarta


Jawa Barat







9


Sukabumi


Jawa Barat







10


Kudus


Jawa Tengah







11


Cirebon


Jawa Barat







12


Suo Harjo


Jawa Timur







13


Lawo


Sulawesi Selatan







14


Wejo


Sulawesi Selatan







15


Biak Numfor


Papua







16


Jambi


Jambi







17


Kerinci


Jambi







18


Dan Seterusnya



















Sumber : Berbagi sumber “ google.co.id”






Berdasarkan data dari berbagai sumber sementara bahwa sebanyak 500 gugatan yang diajukan, hanya 169 yang diproses dan baru 2 yang dimenangkan oleh penggugat, hal ini lebih disebabkan oleh ketepatan tempat ajuan gugatan.


Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi : (1) Pelanggaran administrasi pemilu, (2) Pelanggaran pidana pemilu, (3) perselisihan hasil pemilu.





Pelanggaran administrasi


Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.


Contoh pelanggran administratif tersebut misalnya ; tidak memenuhi bsyarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.










b. Tindak Pidana Pemilu


Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.










c. Perselisihan Hasil Pemilu


Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.


Sesuai dengan amanat konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK.


Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggran pemilu bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antar peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.


Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti pemilu (parpol dan perorangan) , media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.


Contoh kasus yang telah nyata ada adalah 1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu. 2) sengketa antar partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.






Ø Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada


Perubahan Ketiga UD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstistusi agar dilaksankan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undnag-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.






Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Bab 1 Pasal 1 UU No.22 Tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945.






Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu maka penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945. Persoalannya, UU No.32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah


Melalui UU No.12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah dialihkan dari MA ke MK. Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.


Bunyi Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 tersebut dari sudut legal drafting menimbulkan persoalan. Pertama, menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 236C mempunyai penafsiran ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut prakteknya bisa lebih cepat (satu atau dua hari penafsiran) apalagi latar belakang munculnya Pasal itu semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak di sahkan UU No.12 tahun 2008 MK sudah siap, maka perselisihan hasil pilkada sudah siap ditangani oleh MK. Penafsiran kedua “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya, meskipun MK sudah mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak serta merta atau belum dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda tersebut dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini kemungkinannya kecil karena sulit mencari konstitusionalnya. Untuk itu, Jimly mengembalikan persoalan ini kepada bentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR.


Kedua, sebuah pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau dirubah dengan rumusan pasal yang baru. UU No. 12 Tahun 2008 tidak mengubah pasa 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 berbunyi : “keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.


Pola pikir anggota DPR dalam membahas undang-undang tersebut keliru karena lebih mendepankan proses peralihan dibandingkan atas dasar hukum utamanya, yakni Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi substansif didalam UU Pemda terbaru karena di satu sisi membuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain “menjamin” kondisi awalnya tetap ada. Untuk mempertegas atau memberikan kepastian tentang kewenangan penyelesain sengketa pilkada masuk dalam wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tidak berlaku atau, kedua, dapat dimasukan kedalam undang-undang MK yang sekarang sedang direvisi.










Beralihnya sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana di MA? Disamping itu, beberapa pasal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya, Bab I Pasal 1 dapat ditambah dengan norma yang berbunyi “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan, Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi “calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 di tambah dengan huruf (d) “Keoal Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi “terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.


UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaran pilkada di Indonesia. Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu.






Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak pesoalan sehingga terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa pekerjaan rumah tersebut antara lain: pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah”. Kedua, tentang peran regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut mutlak tidak di perlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai mana diatur dalam UU No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum. Empat pasal dalam UU No.32 tahun 2004 yang tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi “Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”, Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”, Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”, dan Pasal 114 ayat (4) yaitu “ tata cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pemantauan pemilihan serta pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.


Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepal daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan ususl DPRD dan kedua tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui cara pertama. UU No. 6 tahun 2005n tentang pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa “ pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/ Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya”.


Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah itu adalah sebuah keniscayaan untuk segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkda di seluruh Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.










Ø Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada






Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi cara penyelesaiannnya diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.










1. Mekanisme Pelaporan






Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahap pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang.






Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilukepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Bawaslu memiliki waktu 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran.






Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.






Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan pelanggaran tindak pemilu atau bukan. Dalam hal laporan dan temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi 1) Pelanggaran pemilu yang bersifat administratif dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana. Bawaslu meneruskan hasil kajian kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan.






Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasa 247 UU10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05/2008.










2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi






Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya merupakan sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berupa teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada.






Meski kewenangan menyelesaiakan pelanggaran administrasi menjadi dominan KPU, KPU Propinsi,san KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan kewenangan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana, lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2). Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga belaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.














3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu






3.1. Proses Penyidikan






Sebenarnya pelanggaran tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisisan kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaiannya juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generalist maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.






Mengacu kepada pasal 247 ayat (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik POLRI dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu.






Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan dalam 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan 4-5 otang antara lain :






TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI






· BARESKRIM : 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri)






· POLDA : 5 TIM






· POLWIL : 3 TIM






· POLRES : 10 TIM.






















Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama

Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap 1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penandatangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan, dan 2) materi/ laporan yang antara lain : kejelasan identitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.






Berdasarkan identitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyiapkan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).










3.2 Poses Penuntutan


UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tantang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan ( September 2008 ) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 Kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain diluar pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Japidum) untuk menangani perkara di pusat dan diluar Negeri. Penugasan ini di tuangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No.125/2008.






Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengambilkan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai denagan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU.


Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntut/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisia maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala.


Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.






3.2. Proses persidangan


Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pamilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat ( speed tryal). Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.


Tujuh hari sajak berkas perkara diterima pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemangilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui peraturan MA. PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa hakim khusus sebagai mana dimaksut berjumlah antara 3 sampai 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk mempersiapan/menunjukkan hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.


Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusam dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.


PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagai mana dimaksut paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding ditrima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar