Senin, 17 Desember 2012

PERNIKAHAN ADAT BIAK PAPUA


KATA PENGANTAR

Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim
            Puji syukur di panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul Tradisi Pernikahan Adat Suku Biak di Papua.  Pada makalah ini saya banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi.  oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Wassalamu’alaikum , Wr. Wb.
Jakarta ,Mei 2012

                                                                    Penyusun












Tradisi Pernikahan Adat Suku Biak di Papua

Bab I
PENDAHULUAN
Masyarakat Biak masih memiliki kebudayaan kuno yang berkisar pada kepercayaan animisme bahkan kepercayaan tersebut lebih ditonjolkan melalui upacara ritual yang lebih dikenal dengan WOR. Kata Wor sudah berarti lagu dan tari tradisional. Semua anak yang terkena wabah penyakit dianggap bernasib malang sehingga harus diadakan upacara adat.
Wor dapat mengekspresikan semua aspek kehidupan orang Biak, seperti halnya upacara tradisional para leluhur berupa ukiran kayu, dan lebih khusus pada motif atribut yang digunakan mereka pada saat menyanyi dan menari; berupa motif pada pakaian. Semua barang yang digunakan untuk upacara adat dapat disakralkan atau dikeramatkan.
Beberapa upacara tradisional orang Biak antara lain : 
  • Upacara Gunting Rambut/cukur (Wor Kapapnik),
  • Upacara Memberi/mengenakan Pakaian (Wor Famarmar),
  • Upacara Perkawinan (Wor Yakyaker Farbakbuk), dan lain-lain.

Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak Numfor. Turun temurun, setiap kegiatan yang terkait dengan alur kehidupan mereka berjalan berdasarkan aturan adat. Aturan adat itu berasal dari para leluhur suku Biak yang diyakini sebagai tetua adat. Salah satu aturan adat yang harus dijalani yakni prosesi adat sebelum warga Biak melangsungkan pernikahan. 

Bab II
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana prosesi perkawinan adat biak dilangsungkan.
Bagaimana Tata cara penyerahan maskawin.
Jenis - jenis perkawinan suku biak.
Bagaimanakah upacara pesta adat berlangsung.


Bab III
PEMBAHASAN
Prosesi pernikahan
Proses perkawinan ini adalah suatu tatacara yang berproses secara teratur dan terorganisir (Fes Eren.) untuk menyatakan suatu perkawinan adat sah dan mendapat legitimasi publik. Dengan demikian maka, system perkawinan orang biak pada dasarnya berproses dalam suatu sistem yang saling terkait yaitu dimulai dari :
PEMINANGAN (FAKFUKEN)
Pada tahap awal ini paman dan tante dan anak laki-laki calon suami melakukan pendekatan dengan keluarga pihak perempuan calon istri untuk menyampaikan niat keluarga laki-laki dan aturannya harus 3 (tiga) kali datang meminang karena kali I (pertama) baru bersifat pemberitahuan niat dan keluarga laki-laki pada pihak keluarga perempuan sehingga pihak keluarga perempuan harus berunding terutama dengan pihak anggota keluarga perempuan yang diberi hak istimewa / hak khusus (Binaw).

Orang tua kandung perempuan tidak punya hak untuk memutuskan sendiri kemauannya, karena soal maskawm bagi orang biak adalah hak keluarga ( Hak marga).

MASKAWIN (ARAREM)
Pada tahap ketiga peminangan, nilai nominal serta sejumlah piring antik (Benbepon ) dan sejumlah piring besar dan piring makan disepakati jumlahnya, besarnya maskawin pada masyarakat biak disesuaikan dengan beberapa kriteria yaitu:
  1. Jumlah besar atau kecilnya keluarga perempuan sebagai pihak yang akan menerima maskawin dan pada laki-laki.
  2. Status sosial yang disandang keluarga perempuan ( Kepala keret / keluarga berada atau status terhormat lainnya dalam marga).
  3. Kecantikan / kepribadian / gadis murni (Perawan).
Bila maskawin telah disiapkan oleh keluarga laki-laki maka, sebelum diserahkan kepada pihak perempuan, pihak perempuan diberi kesempatan untuk datang meninjau lebih dahulu dan bila sudah memenuhi syarat maskawin yang disepakati kedua belah pihak sudah benar, maka selanjutnya ditetapkan waktu upacara penyerahannya.
Pada waktu upacara penyerahan maskawin diantar kekeluarga perempuan, maskawin dibagi 2 (Dua) bagian yaitu :

  1. Bagian maskawin untuk lepas gendong ( Abobes kapar) khusus untuk orang tua ibu dan anak perempuan yang diminang bagian maskawin lepas gendong ini akan dibagikan kepada pihak keluarga orang tua ibu dan sebagian ditahan sebagai modal maskawin saudara laki-laki bila kelak akan kawin.
  2. Bagian maskawin untuk marga atau keret disebut maskawm inti, karena itu akan dibagi habis untuk seluruh anggota keluarga keret / marga dengan prosentase yang berbeda nilai uang dan barang (Piring) sesuai status anggota keluarga / keret.
Proses penyerahan Maskawin (Yakyaker Ararem).
Pada tahap ini maskawin diantar kekeluarga perempuan melalui suatu upacara arak-arakan yang disertai tari dan lagu sehingga sangat meriah. Hal ini dimaksudkan sebagi :
  1. Suatu Show Force (Pamer kekuatan / kebolehan) bahwa keluarga keret / marga pihak laki-laki adalah orang mampu / berada.
  2. Pemberitahuan secara langsung kepada masyarakat luas bahwa perkawinan kedua orang ini (laki – Perempuan) adalah sah dan direstui oleh seluruh keluarga kedua belah pihak dan mengikat kedua keluarga untuk saling menghormati / saling menghargai.

Tata cara penyerahan maskawin.
Arak – arakan peserta upacara penyerahan maskawin dibagi dalam 2 (Dua) bagian yaitu:
Bagian I (Pertama) yang terdiri dari Om / Tante / Familie berada dalam satu barisan tersendiri yang bertanggung jawab menyerahkan bagian dari maskawin yang disebut “Abobes Kapar” (Lepas pendong) kepada ibu kandung dan anak perempuan (Calon nikah). Catatan:
Bagian ini akan diperuntukkan kepada keluarga pihak ibu karena ketika jadi pesta adat pihak ini ikut bertanggung jawab.
Bagian ke- II ( Dua) yang terdiri dari maskawin “Baken” (Inti) berada dalam satu barisan yang terdiri anggota keret / anggota keret lain yang terkait hubungan kekerabatan.

PERNIKAHAN (WAFWOFER)
Pada tahap ini segala sesuatu yang menyangkut kepentingan keluarga yang bersangkutan ( Pihak lak-laki, maupun perempuan ) sudah terpenuhi sesuai ketentuan adat biak yang berlaku (Maskawin).
Sebelum kedua calon pasangan nikah adat diberlakukan maka, kedua anak tersebut mengalami proses upacara inisiasi (Ramrem), untuk mendapatkan restu keluarga (Legalitas) masing-masing pihak. Upacara inisiasi tersebut dilakukan oleh pihak Om dan tante kedua belah pihak secara terpisah.
Setelah tahap ini, kedua mempelai laki-laki dan perempuan dipersatukan dan upacara penikahan ( Waiwofer) diberlakukan oleh sesorang tua adat / keret atau oleh seseorang mananwir (Kepala keret / marga / clen) dengan cara meniup asap rokok keatas tangan calon suami-isteri yang sedang berjabat tangan sambil mengucapkan kata-kata pengukuhan nikah adat di hadapan kedua calon suami-isteri, dihadapan keluarga kedua pihak dan disaksikan “TUHAN DI SORGA” DAN BUMI YANG DIPIJAK, nikah adat ( Wafwofer) ini dinyatakan sah dan tidak dibenarkan untuk dibubarkan oleh siapapun dengan alasan apapun. Dengan selesainya upacara pernikahan ( Wafwofer) ini, maka sebuah rumah tangga telah terbentuk dan secara sah dapat melakukan kegiatan kemasyarakatan sebagaimana lazimnya dilakukan keluarga lainnya.

UPACARA PENYERAHAN PEREMPUAN (CALON ISTERI) KEPADA LAKI-LAKI (CALON SUAMI) (YAKYAKER).
Pada tahap ini, setelah upacara nikah ( Wafwofer ) selesai dilaksanakan, pihak keluarga membawa pulang perempuan (Calon isteri) kembali kerumah keluarga, kemudian dari pada itu setelah keluarga pihak perempuan sudah menyiapkan harta benda keluarga / keret berupa “Perabot rumah tangga” sebagai ole – ole perempuan (calon isteri), lalu upacara penyerahan kembali perempuan ( calon isteri ) oleh keluarga perempuan kepada laki-laki ( calon suami ) dan diterima oleh pihak keluarga laki-laki, proses ini disebut “Yakyaker tahap pertama (I). Biasanya tahap ini berlangsung cepat dan tidak perlu diadakan pesta khusus lagi dan dengan demikian maka, perempuan (calon isteri) tersebut secara resmi (Legal) menjadi milik laki-laki Suami) dan keluarganya untuk selama-lamanya dengan status isteri sah.
Jenis-jenis perkawinan adat yang pada umumnya terjadi dikalangan masyarakat biak itu antara lain :
1.      PERKAWINAN MURNI (FARBAKBUK BEKAKU)
Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat dikalangan masyarakat biak karena memenuhi syarat-syarat utama norma adat byak sebagaimana akan dijelaskan pada Bab II berikut ini, jenis perkawinan ini gampang – sulit terlaksana dikalangan orang byak karena yang dipertaruhkan disini adalah derajat atau harga diri dan kedua pihak keret marga yang bersangkutan langsung dalam proses perkawinan adat tersebut, penonjolan harta kekayaan , kemampuan memberi mas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu melunasi maskawin dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan.
2.      PERKAWINAN KENALAN (FARBAKBUKMANIBOW)
Jenis perkawinan ini adalah sebagal wujud dan tindak lanjut dari niat dua orang yang berkenalan baik, artinya sebagal balas jasa dari kedua kenalan yang saling menguntungkan misalnya ketika salah satu kenalan (teman) yang lain dari himpitan kesulitannya. Dengan demikian, maka kedua kenalan atau teman baik itu berikrar untuk saling mengawinkan anaknya kelak sebagai tanda persahabatan itu agar berlangsung terus. Biasanya proses perkawinannya tidak sama persis seperti proses perkawinan murni (Farbakbuk bekaku) misalnya : Nilai maskwain disesuaikan kemampuan pihak keluarga yang memberi, sedangkan syarat – syarat proses perkawinan adat yang lain tetap harus dipenuhi sebagaimana mestinya.
3.      KAWIN LARI ( PARBAKBUK BEBUR)
Jenis perkawinan ini terlaksana sebagai wujud dari niat seorang laki-laki / atau perempuan tidak direstui oleh pihak keluarga karena pihak keluarga mempunyai calon lain diluar keinginan kedua orang tersebut.
Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang bersangkutan mengambil keputusan lari kawin dengan calon suami yang telah menjadi pilihannya dengan penuh resiko. Perkawinan ini disebut Farbakbuk Bin Berbur perempuan yang lari kawin).
Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani lari kawin, maka laki – laki yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya untuk dijadikan istri, sudah jelas penuh resiko.
Perkawinan ini disebut Farbakbuk Pasposer ( perkawinan karena perampasan), Perkawinan adat, jenis ini prosedurnya jauh berbeda dengan proses perkawinan tersebut diatas karena sifatnya terpaksa dan mengundang emosi keluarga pihak perempuan, maka biasanya maskawin yang diminta oleh pihak perempuan pun mahal (Dua kali lipat) karena sanksi adat.
4.      PERKAWINAN PERGANTIAN TUNGKU (FARBAKBUK KINKAFSR)
Jenis perkawinan ini dapat di setujui kalangan masyarakat adat byak untuk diberlakukan khusus bagi seseorang laki-laki yang apabila istri pertamanya telah meninggal   ( Wafat), maka adik kandung yang sudah genap usia kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar hubungan kekeluargaan yang ada tetap berlangsung terus. Proses perkawinannya, biasanya tidak diacarakan tetapi langsung menjadi istri (Suami – Isteri) artinya cukup dengan mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga yang bensangkutan dan maskawinnya terserah dan kepada kemampuan pihak keluarga laki-laki dan tidak dipaksakan.
5.      PERKAWINAN PENGGANTI KORBAN PEMBUNUHAN (FARBAKBUK  BABYAK)
Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak termasuk perkawinan luar biasa, karena wanita diberikan oleh keluarga pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban sebagai pengganti dengan maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya melahirkan seorang anak sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi sebagai alat perdamaian dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga yang bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat.
Proses perkawinan adat ditiadakan termasuk maskawinnya dengan catatan bila dikemudian hari bila melahirkan seorang anak wanita dan ada maskawin, maka maskawinnya separuh / sebagian diberikan kepada keluarga korban sebagai tanda.
6.      PERKAWINAN HADIAH PERAMPASAN SEBAGAI BUDAK
(TARBAKBUK WOMEN)
Jenis perkawinan ini ada pada masyarakat byak  “tempo doeloe”, sekarang sudah tidak ada lagi, dan mungkin sekali masih terdapat dikalangan masyarakat didaerah terpencil dipedalaman Papua atau didaerah-daerah terisolir pada lembah-lembah barisan pegunungan tengah Papua. Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak “tempo doeloe” terjadi bila marga-marga disuatu kampung menyerang kampung lain karena suatu sebab khusus, sebab khusus itu antara lain:
a)      Kampung itu pernah diserang oleh kampung yang bersangkutan (Balas dendam).
b)      Kampung yang bersangkutan dicurigai sebagai mata-mata yang memudahkan kampung mereka diserang.
c)      Kampung yang bersangkutan dinilai berpeluang potensi ekonomis
d)     Kampung yang bersangkutan dinilai letaknya strategis guna mengatur teknik   penyerangan dan darat maupun dan laut.
Pada waktu serangan atau perang suku itu, pihak yang lebih kuat merampas dan membawa pergi secara paksa wanita muda yang belum kawin atau wanita muda yang sudah kawin sebagai hadiah kemenangan untuk kemudian dijadikan istri.
Wanita yang dirampas dalam serangan atau perang suku itu menurut aturan perang suku harus berasal dari tokoh masyarakat kampung yang dikalahkan.
Syarat wajib dalam perang suku masyarakat biak “tempo doeloe” ini diperlukan sebagai :
1.      Pameran kekuatan dan kehebatan dalam teknik perang suku (perang tradisional).
2.      Pameran patriotik, sebagai motifasi kepada generasi muda untuk selalu memiliki jiwa perang (Patriotik) tidak mudah menyerah dan selalu mencontohi leluhur yang selalu pemberani (Mambri)
Mambri adalah orang kuat dalam masyarakat kampung yang selain memiliki keunggulan perang, memiliki sifat dan sikap tidak kenal menyerah dalam kondisi apapun, dan selalu berada pada posisi terdepan dan tidak perlu mundur ketengah dan kebelakang dalam kepemimpinannya, dengan demikian dia adalah “Snon kaku byak (Laki-laki sejati Biak) dengan gelar “Mambri” (Orang Kuat / Strong man).
Proses perkawinan pada jenis perkawinan “ women” (Budak) ini ditiadakan karena tidak ada wali orang tua yang jelas, demikian prosesi perkawinan diatur oleh kesepakatan tua-tua adat dalam kampung kepada siapa wanita yang dirampas (Pasposer) dalam perang suku menjadi kewenangan “Kain – kain karkar Biak” (KKB) Dewan adat mnu (Dewan adat kampung) yang terdiri dari para Mananwir Er (Kepala keret / marga).

UPACARA PESTA ADAT (WOR)
Tahap ini adalah tahap akhir dari proses perkawinan (Farbakbuk) adat biak yang dilalui setelah “rumah tangga baru” ini berlangsung beberapa waktu lamanya. Biasanya kedua pasang suami/isteri sudah mendapat anak-anak maka kepada laki-laki (Suami) dan keluarganya wajib memberi ongkos tertentu berupa “makanan dan minuman” khas biak (keladi , bete, petatas, sayuran, ikan, daging babi, dan lain-lain sejenis) serta pula benda berharga lain (Pinang, gelang, perahu dan lain-lain sejenis) kepada pihak keluarga perempuan.
Biasanya pesta adat ini, dipersiapkan dalam waktu yang lama. Dengan demikian maka walaupun pesta adat ini adalah tahap akhir dari proses perkawinan (Farbakbuk) adat biak tetapi acara ini terlepas dan berdiri sendiri artinya dapat diadakan tetapi juga bisa tidak didakan karena bagian akhir dan proses perkawinan ini wajib tetapi bersifat khusus bagi yang mampu melaksanakannya. Upacara pesta adat biak pada tahap kahir ini yang disebut “Yakyaker” ke- II (dua) dalam bentuk “Wor”.

Upacara pesta adat ini mengandung nilai – nilai dasar yang sangat spesifik dalam kehidupan masyarakat biak dikarenakan:
Pesta adat ini dilaksanakan untuk unjuk kekuatan dan kemampuan antara lain
a. Harga diri keluarga pihak laki-laki
b. Derajat / satatus sosial yang disandang keluarga laki-laki
c. Sebagai pameran kekayaan keluarga laki-laki








Bab IV
KESIMPULAN
1.      Suku Biak sangat menjunjung tinggi adat kebiasaannya.
Pesta adat ini dibuat untuk menghormati arwah para leluhur sekaligus mendapat restu agar dalam kehidupan keluarga laki-laki senantiasa terhindar dari mara bahaya.
  1. Pesta adat ini dibuat untuk mengekalkan nama keluarga sepanjang sejarah kehidupan masyarakat biak dan biasanya akhir dari upacara pesta adat ini lalu keluarga pihak perempuan menobatkan gelar-gelar kehormatan adat misalnya: ‘Mambri, Korano, Kapisa, Mayor, Sanadi, Mananwir, Binsyowi dan lain-lain (sebagai wujud legitimasi terhadap bobot dari pesta adat yang bersangkutan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar