KATA PENGANTAR
Bismillah Ar-Rahman
Ar-Rahim
Puji
syukur di panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul Tradisi Pernikahan
Adat Suku Biak di Papua. Pada makalah ini saya banyak mengambil
dari berbagai sumber dan refrensi. oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna,
untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Wassalamu’alaikum
, Wr. Wb.
Jakarta
,Mei 2012
Penyusun
Bab I
PENDAHULUAN
Masyarakat Biak masih memiliki kebudayaan kuno
yang berkisar pada kepercayaan animisme bahkan kepercayaan tersebut lebih
ditonjolkan melalui upacara ritual yang lebih dikenal dengan WOR. Kata Wor
sudah berarti lagu dan tari tradisional. Semua anak yang terkena wabah penyakit
dianggap bernasib malang sehingga harus diadakan upacara adat.
Wor dapat mengekspresikan semua aspek kehidupan
orang Biak, seperti halnya upacara tradisional para leluhur berupa ukiran kayu,
dan lebih khusus pada motif atribut yang digunakan mereka pada saat menyanyi
dan menari; berupa motif pada pakaian. Semua barang yang digunakan untuk
upacara adat dapat disakralkan atau dikeramatkan.
Beberapa upacara tradisional orang Biak antara lain :
- Upacara
Gunting Rambut/cukur (Wor Kapapnik),
- Upacara
Memberi/mengenakan Pakaian (Wor Famarmar),
- Upacara
Perkawinan (Wor Yakyaker Farbakbuk), dan lain-lain.
Suku Biak merupakan salah satu kelompok
masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak Numfor. Turun temurun, setiap kegiatan yang terkait
dengan alur kehidupan mereka berjalan berdasarkan aturan adat. Aturan adat itu berasal dari para leluhur suku Biak yang diyakini
sebagai tetua adat. Salah satu
aturan adat yang harus dijalani yakni prosesi adat sebelum warga Biak
melangsungkan pernikahan.
Bab II
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana
prosesi perkawinan adat biak dilangsungkan.
Bagaimana
Tata cara penyerahan maskawin.
Jenis -
jenis perkawinan suku biak.
Bagaimanakah
upacara pesta adat berlangsung.
Bab III
PEMBAHASAN
Prosesi pernikahan
Proses perkawinan ini adalah suatu tatacara yang
berproses secara teratur dan terorganisir (Fes Eren.) untuk menyatakan suatu
perkawinan adat sah dan mendapat legitimasi publik. Dengan demikian maka,
system perkawinan orang biak pada dasarnya berproses dalam suatu sistem yang
saling terkait yaitu dimulai dari :
PEMINANGAN (FAKFUKEN)
Pada tahap awal ini paman dan tante dan anak
laki-laki calon suami melakukan pendekatan dengan keluarga pihak perempuan
calon istri untuk menyampaikan niat keluarga laki-laki dan aturannya harus 3
(tiga) kali datang meminang karena kali I (pertama) baru bersifat pemberitahuan
niat dan keluarga laki-laki pada pihak keluarga perempuan sehingga pihak
keluarga perempuan harus berunding terutama dengan pihak anggota keluarga
perempuan yang diberi hak istimewa / hak khusus (Binaw).
Orang tua kandung perempuan tidak punya hak untuk
memutuskan sendiri kemauannya, karena soal maskawm bagi orang biak adalah hak
keluarga ( Hak marga).
MASKAWIN (ARAREM)
Pada tahap ketiga peminangan, nilai nominal serta
sejumlah piring antik (Benbepon ) dan sejumlah piring besar dan piring makan
disepakati jumlahnya, besarnya maskawin pada masyarakat biak disesuaikan dengan
beberapa kriteria yaitu:
- Jumlah besar atau kecilnya keluarga perempuan sebagai
pihak yang akan menerima maskawin dan pada laki-laki.
- Status sosial yang disandang keluarga perempuan ( Kepala
keret / keluarga berada atau status terhormat lainnya dalam marga).
- Kecantikan / kepribadian / gadis murni (Perawan).
Bila maskawin telah disiapkan oleh keluarga
laki-laki maka, sebelum diserahkan kepada pihak perempuan, pihak perempuan
diberi kesempatan untuk datang meninjau lebih dahulu dan bila sudah memenuhi
syarat maskawin yang disepakati kedua belah pihak sudah benar, maka selanjutnya
ditetapkan waktu upacara penyerahannya.
Pada waktu upacara penyerahan maskawin diantar kekeluarga
perempuan, maskawin dibagi 2 (Dua) bagian yaitu :
- Bagian
maskawin untuk lepas gendong ( Abobes kapar) khusus untuk orang tua ibu
dan anak perempuan yang diminang bagian maskawin lepas gendong ini akan
dibagikan kepada pihak keluarga orang tua ibu dan sebagian ditahan sebagai
modal maskawin saudara laki-laki bila kelak akan kawin.
- Bagian
maskawin untuk marga atau keret disebut maskawm inti, karena itu akan
dibagi habis untuk seluruh anggota keluarga keret / marga dengan
prosentase yang berbeda nilai uang dan barang (Piring) sesuai status
anggota keluarga / keret.
Proses penyerahan
Maskawin (Yakyaker Ararem).
Pada tahap ini maskawin diantar kekeluarga
perempuan melalui suatu upacara arak-arakan yang disertai tari dan lagu
sehingga sangat meriah. Hal ini dimaksudkan sebagi :
- Suatu Show
Force (Pamer kekuatan / kebolehan) bahwa keluarga keret / marga pihak
laki-laki adalah orang mampu / berada.
- Pemberitahuan secara langsung kepada masyarakat luas bahwa perkawinan kedua orang ini (laki – Perempuan) adalah sah dan direstui oleh seluruh keluarga kedua belah pihak dan mengikat kedua keluarga untuk saling menghormati / saling menghargai.
Tata cara penyerahan maskawin.
Arak – arakan peserta upacara penyerahan maskawin dibagi
dalam 2 (Dua) bagian yaitu:
Bagian I (Pertama) yang terdiri dari Om / Tante / Familie berada dalam satu barisan
tersendiri yang bertanggung jawab menyerahkan bagian dari maskawin yang disebut
“Abobes Kapar” (Lepas pendong) kepada ibu kandung dan anak perempuan (Calon
nikah). Catatan:
Bagian ini
akan diperuntukkan kepada keluarga pihak ibu karena ketika jadi pesta adat
pihak ini ikut bertanggung jawab.
Bagian ke- II ( Dua) yang terdiri dari maskawin “Baken” (Inti) berada
dalam satu barisan yang terdiri anggota keret / anggota keret lain yang terkait
hubungan kekerabatan.
PERNIKAHAN (WAFWOFER)
Pada tahap ini segala sesuatu yang menyangkut
kepentingan keluarga yang bersangkutan ( Pihak lak-laki, maupun perempuan ) sudah
terpenuhi sesuai ketentuan adat biak yang berlaku (Maskawin).
Sebelum kedua calon pasangan nikah adat
diberlakukan maka, kedua anak tersebut mengalami proses upacara inisiasi
(Ramrem), untuk mendapatkan restu keluarga (Legalitas) masing-masing pihak. Upacara
inisiasi tersebut dilakukan oleh pihak Om dan tante kedua belah pihak secara
terpisah.
Setelah tahap ini, kedua mempelai laki-laki dan
perempuan dipersatukan dan upacara penikahan ( Waiwofer) diberlakukan oleh
sesorang tua adat / keret atau oleh seseorang mananwir (Kepala keret / marga /
clen) dengan cara meniup asap rokok keatas tangan calon suami-isteri yang
sedang berjabat tangan sambil mengucapkan kata-kata pengukuhan nikah adat di
hadapan kedua calon suami-isteri, dihadapan keluarga kedua pihak dan disaksikan
“TUHAN DI SORGA” DAN BUMI YANG DIPIJAK, nikah adat ( Wafwofer) ini dinyatakan
sah dan tidak dibenarkan untuk dibubarkan oleh siapapun dengan alasan apapun.
Dengan selesainya upacara pernikahan ( Wafwofer) ini, maka sebuah rumah tangga
telah terbentuk dan secara sah dapat melakukan kegiatan kemasyarakatan
sebagaimana lazimnya dilakukan keluarga lainnya.
UPACARA PENYERAHAN PEREMPUAN (CALON ISTERI) KEPADA LAKI-LAKI (CALON
SUAMI) (YAKYAKER).
Pada tahap ini, setelah upacara nikah ( Wafwofer
) selesai dilaksanakan, pihak keluarga membawa pulang perempuan (Calon isteri)
kembali kerumah keluarga, kemudian dari pada itu setelah keluarga pihak
perempuan sudah menyiapkan harta benda keluarga / keret berupa “Perabot rumah
tangga” sebagai ole – ole perempuan (calon isteri), lalu upacara penyerahan
kembali perempuan ( calon isteri ) oleh keluarga perempuan kepada laki-laki (
calon suami ) dan diterima oleh pihak keluarga laki-laki, proses ini disebut
“Yakyaker tahap pertama (I). Biasanya tahap ini berlangsung cepat dan tidak
perlu diadakan pesta khusus lagi dan dengan demikian maka, perempuan (calon
isteri) tersebut secara resmi (Legal) menjadi milik laki-laki Suami) dan
keluarganya untuk selama-lamanya dengan status isteri sah.
Jenis-jenis perkawinan
adat yang pada umumnya terjadi dikalangan masyarakat biak itu antara lain :
1. PERKAWINAN MURNI
(FARBAKBUK BEKAKU)
Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat
dikalangan masyarakat biak karena memenuhi syarat-syarat utama norma adat byak
sebagaimana akan dijelaskan pada Bab II berikut ini, jenis perkawinan ini
gampang – sulit terlaksana dikalangan orang byak karena yang dipertaruhkan
disini adalah derajat atau harga diri dan kedua pihak keret marga yang
bersangkutan langsung dalam proses perkawinan adat tersebut, penonjolan harta
kekayaan , kemampuan memberi mas kawin, disiplin dalam soal tepat waktu
melunasi maskawin dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat yang bersangkutan.
2. PERKAWINAN KENALAN
(FARBAKBUKMANIBOW)
Jenis perkawinan ini adalah sebagal wujud dan
tindak lanjut dari niat dua orang yang berkenalan baik, artinya sebagal balas
jasa dari kedua kenalan yang saling menguntungkan misalnya ketika salah satu
kenalan (teman) yang lain dari himpitan kesulitannya. Dengan demikian, maka
kedua kenalan atau teman baik itu berikrar untuk saling mengawinkan anaknya
kelak sebagai tanda persahabatan itu agar berlangsung terus. Biasanya proses
perkawinannya tidak sama persis seperti proses perkawinan murni (Farbakbuk
bekaku) misalnya : Nilai maskwain disesuaikan kemampuan pihak keluarga yang
memberi, sedangkan syarat – syarat proses perkawinan adat yang lain tetap harus
dipenuhi sebagaimana mestinya.
3.
KAWIN LARI ( PARBAKBUK BEBUR)
Jenis perkawinan ini terlaksana sebagai wujud dari niat
seorang laki-laki / atau perempuan tidak direstui oleh pihak keluarga karena
pihak keluarga mempunyai calon lain diluar keinginan kedua orang tersebut.
Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang
bersangkutan mengambil keputusan lari kawin dengan calon suami yang telah
menjadi pilihannya dengan penuh resiko. Perkawinan ini disebut Farbakbuk Bin
Berbur perempuan yang lari kawin).
Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani
lari kawin, maka laki – laki yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut
dari keluarganya untuk dijadikan istri, sudah jelas penuh resiko.
Perkawinan ini disebut Farbakbuk Pasposer (
perkawinan karena perampasan), Perkawinan adat, jenis ini prosedurnya jauh
berbeda dengan proses perkawinan tersebut diatas karena sifatnya terpaksa dan
mengundang emosi keluarga pihak perempuan, maka biasanya maskawin yang diminta
oleh pihak perempuan pun mahal (Dua kali lipat) karena sanksi adat.
4. PERKAWINAN
PERGANTIAN TUNGKU (FARBAKBUK KINKAFSR)
Jenis perkawinan ini dapat di setujui kalangan
masyarakat adat byak untuk diberlakukan khusus bagi seseorang laki-laki yang
apabila istri pertamanya telah meninggal ( Wafat), maka adik kandung yang sudah genap
usia kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar hubungan kekeluargaan
yang ada tetap berlangsung terus. Proses perkawinannya, biasanya tidak
diacarakan tetapi langsung menjadi istri (Suami – Isteri) artinya cukup dengan
mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga yang bensangkutan dan
maskawinnya terserah dan kepada kemampuan pihak keluarga laki-laki dan tidak
dipaksakan.
5. PERKAWINAN PENGGANTI KORBAN PEMBUNUHAN
(FARBAKBUK BABYAK)
Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak
termasuk perkawinan luar biasa, karena wanita diberikan oleh keluarga pihak
pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban sebagai pengganti
dengan maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya melahirkan seorang
anak sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi sebagai alat
perdamaian dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga
yang bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat.
Proses perkawinan adat ditiadakan termasuk
maskawinnya dengan catatan bila dikemudian hari bila melahirkan seorang anak
wanita dan ada maskawin, maka maskawinnya separuh / sebagian diberikan kepada
keluarga korban sebagai tanda.
6. PERKAWINAN HADIAH
PERAMPASAN SEBAGAI BUDAK
(TARBAKBUK WOMEN)
Jenis perkawinan ini ada pada masyarakat
byak “tempo doeloe”, sekarang sudah tidak ada lagi, dan mungkin sekali
masih terdapat dikalangan masyarakat didaerah terpencil dipedalaman Papua atau
didaerah-daerah terisolir pada lembah-lembah barisan pegunungan tengah Papua.
Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat byak “tempo doeloe” terjadi bila
marga-marga disuatu kampung menyerang kampung lain karena suatu sebab khusus,
sebab khusus itu antara lain:
a) Kampung itu
pernah diserang oleh kampung yang bersangkutan (Balas dendam).
b) Kampung
yang bersangkutan dicurigai sebagai mata-mata yang memudahkan kampung mereka
diserang.
c) Kampung yang
bersangkutan dinilai berpeluang potensi ekonomis
d) Kampung yang
bersangkutan dinilai letaknya strategis guna mengatur teknik penyerangan dan darat maupun dan laut.
Pada waktu serangan atau perang suku itu, pihak
yang lebih kuat merampas dan membawa pergi secara paksa wanita muda yang belum
kawin atau wanita muda yang sudah kawin sebagai hadiah kemenangan untuk
kemudian dijadikan istri.
Wanita yang dirampas dalam serangan atau perang
suku itu menurut aturan perang suku harus berasal dari tokoh masyarakat kampung
yang dikalahkan.
Syarat wajib dalam
perang suku masyarakat biak “tempo doeloe” ini diperlukan sebagai :
1.
Pameran kekuatan dan kehebatan dalam teknik perang suku (perang
tradisional).
2.
Pameran patriotik, sebagai motifasi kepada generasi muda untuk selalu
memiliki jiwa perang (Patriotik) tidak mudah menyerah dan selalu mencontohi
leluhur yang selalu pemberani (Mambri)
Mambri adalah orang kuat dalam masyarakat kampung
yang selain memiliki keunggulan perang, memiliki sifat dan sikap tidak kenal
menyerah dalam kondisi apapun, dan selalu berada pada posisi terdepan dan tidak
perlu mundur ketengah dan kebelakang dalam kepemimpinannya, dengan demikian dia
adalah “Snon kaku byak (Laki-laki sejati Biak) dengan gelar “Mambri” (Orang
Kuat / Strong man).
Proses perkawinan pada jenis perkawinan “ women”
(Budak) ini ditiadakan karena tidak ada wali orang tua yang jelas, demikian
prosesi perkawinan diatur oleh kesepakatan tua-tua adat dalam kampung kepada
siapa wanita yang dirampas (Pasposer) dalam perang suku menjadi kewenangan
“Kain – kain karkar Biak” (KKB) Dewan adat mnu (Dewan adat kampung) yang
terdiri dari para Mananwir Er (Kepala keret / marga).
UPACARA PESTA ADAT (WOR)
Tahap ini adalah tahap akhir dari proses
perkawinan (Farbakbuk) adat biak yang dilalui setelah “rumah tangga baru” ini
berlangsung beberapa waktu lamanya. Biasanya kedua pasang suami/isteri sudah
mendapat anak-anak maka kepada laki-laki (Suami) dan keluarganya wajib memberi
ongkos tertentu berupa “makanan dan minuman” khas biak (keladi , bete, petatas,
sayuran, ikan, daging babi, dan lain-lain sejenis) serta pula benda berharga
lain (Pinang, gelang, perahu dan lain-lain sejenis) kepada pihak keluarga
perempuan.
Biasanya pesta adat ini, dipersiapkan dalam waktu
yang lama. Dengan demikian maka walaupun pesta adat ini adalah tahap akhir dari
proses perkawinan (Farbakbuk) adat biak tetapi acara ini terlepas dan berdiri
sendiri artinya dapat diadakan tetapi juga bisa tidak didakan karena bagian
akhir dan proses perkawinan ini wajib tetapi bersifat khusus bagi yang mampu
melaksanakannya. Upacara pesta adat biak pada tahap kahir ini yang disebut
“Yakyaker” ke- II (dua) dalam bentuk “Wor”.
Upacara pesta adat ini
mengandung nilai – nilai dasar yang sangat spesifik dalam kehidupan masyarakat
biak dikarenakan:
Pesta adat
ini dilaksanakan untuk unjuk kekuatan dan kemampuan antara lain
a. Harga diri keluarga pihak laki-laki
b. Derajat / satatus sosial yang disandang keluarga laki-laki
c. Sebagai pameran kekayaan keluarga laki-laki
Bab IV
KESIMPULAN
1.
Suku Biak sangat menjunjung tinggi adat kebiasaannya.
Pesta adat ini dibuat untuk menghormati arwah
para leluhur sekaligus mendapat restu agar dalam kehidupan keluarga laki-laki
senantiasa terhindar dari mara bahaya.
- Pesta adat
ini dibuat untuk mengekalkan nama keluarga sepanjang sejarah kehidupan
masyarakat biak dan biasanya akhir dari upacara pesta adat ini lalu
keluarga pihak perempuan menobatkan gelar-gelar kehormatan adat misalnya:
‘Mambri, Korano, Kapisa, Mayor, Sanadi, Mananwir, Binsyowi dan lain-lain
(sebagai wujud legitimasi terhadap bobot dari pesta adat yang
bersangkutan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar