Senin, 17 Desember 2012

PERBANDINGAN ANTARA HAK MEWARIS JANDA DITINJAU DARI HUKUM WARIS ADAT JAWA TENGAH DAN HUKUM WARIS ISLAM


PERBANDINGAN ANTARA HAK MEWARIS JANDA DITINJAU DARI HUKUM WARIS ADAT JAWA TENGAH DAN HUKUM WARIS ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Suatu hubungan kekeluargaan, pasti ada permasalahan yang menyangkut dengan yang namanya warisan. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya.
Dalam menghitung dan membagi warisan selalu saja ada permasalahan, entah itu pembagian yang kurang rata ataupun permasalahan dari ahli warisnya. Maka agar pembagian waris tersebut rata dan tidak timbul persengketaan, perlu adanya sistem hukum waris yang digunakan sebagai pedoman.
Masalah warisan akan mengenai setiap orang apabila ada diantaranya yang meninggal dunia, oleh karena itu hukum waris sangat penting dalam kehidupan manusia terutama para ahli waris, karena menyangkut kelangsungan hidup dan kebutuhan penerima warisan tersebut. Kelangsungan kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan serta keharmonisan hubungan keluarga antara ahli waris.
Di Indonesia terdapat tiga sistem hukum yang hdiup dan berkembang serta diakui keberadaannya, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Ketiga sistem hukum tersebut telah berlaku di Indonesia, walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama. Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita. Bila mulai berlakunya tidak dapat ditentukan dengan pasti, tetapi dapat dikatakab bahwa, jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya, hukum adatlah yang tertua umurnya.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita. Sementara hukum barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang Belanda, untuk berdagang di Nusantara ini. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan hukum Islam menurut ketiga sistem hukum tersebut, maka dengan sendirinya didapati pula tiga bentuk hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia berdasarkan sistem hukum yang ada, yakni hukum waris menurut sistem hukum adat, hukum waris menurut sistem hukum Islam, dan hukum waris menurut sistem hukum barat.
Hukum kewarisan menurut ketiga sistem hukum tersebut, masing-masing mempunyai corak dan cara sendiri, dalam hal pembagian kewarisan kepada masing-masing ahli waris. Dalam pembahasan ini tidak akan di bahwa dari ketiga sistem hukum tersebut, hanya dibatasi dengan dua sistem hukum saja, yaitu sistem hukum adat dan sistem hukum Islam. Khususnya pembahasan mengenai kedudukan janda menurut hukum waris adat di jawa tengah dan menurut hukum waris Islam.

B.         Rumusan Masalah
1.Bagaimana kedudukan janda dalam pembagian waris enurut hukum waris adat dan hukum waris   islam?
2. Bagaimana pelaksanaan pembagian waris menurut hukum waris adat jawa tengah dan hukum waris islam?

BAB II
PERBANDINGAN ANTARA HAK MEWARIS JANDA DITINJAU DARI HUKUM WARIS ADAT JAWA TENGAH DAN HUKUM WARIS ISLAM

A. Kedudukan Janda dalam Pembagian Waris Menurut Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam
1. Kedudukan janda menurut hukum waris adat
Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang tua pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta keturunannya dan yang ke empat kakek nenek pewaris.
Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris, adalah :
1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris.
2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.
Korelasi dengan sistem garis keturunan adalah positif, oleh karena dalam hal ini garis pokok keutamaan mapun garis pokok penggantian menjadi variabel tidak bebas (independen variabel).
Dengan mencermati dari urutan keutamaan di antara golongan-golongan keluarga pewaris maupun dari garis pokok penggantian, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan janda tersebut tidak termasuk dalam dua jenis garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Dengan demikian janda (isteri pewaris) tidak termasuk kelompok ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya.
Demikian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soekanto mengenai kedudukan janda . Beliau menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut supaya barang-barang asal dari peninggal harta diterimakan kepada mereka.
Jika barang gono gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh dibagi-bagi asal saja janda terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih hidup suaminya) atau nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru, dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi anatara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami yang telah meninggal dunia.

Menurut Ter Haar dalam menyatakan bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa isteri sebagai “orang luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan, selama ia memerlukannya. Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik garis hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini mapun dari hasil  barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia ;
2. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi ;
3. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ;
4. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya.
2. Kedudukan janda menurut hukum islam
Dalam hukum waris Islam telah diatur dan ditata yang menyangkut peralihan harta warisan dari seorang pewaris kepada para ahli warisnya. Proses peralihan semacam ini dikenal dengan ilmu faraid, yakni ilmu pembagian harta waris. Ilmu yang menerangkan ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi bagian ahli waris yang secara garis besarnya dibedakan dalam dua hal, yakni pertama sebagai peraturan-peraturan tentang pembagian harta warisan, kedua sebagai peraturan-peraturanyang menghitung bagian-bagian dari maisng-masing yang berhak atas harta warisan.
Warisan memiliki beberapa unsur, yakni pewaris , ahli waris dan harta warisan. Ketiga unsur tersebut memiliki aturan-aturan tertentu yang mendasar. Harta warisan baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris apabila dari keseluruhan harta warisan yang ada tersebut telah dikurangi oleh biaya penguburan jenazah dan hutang-hutang pewaris serta wasiat pewaris .
Di dalam membagi harta warisan menurt hukum waris Islam harus mengingat 4 prinsip pokok masalah kewarisan, yaitu:
1.         Prinsip yang berkaitan dengan anak-anak dan ibu bapak dari pewaris.
2.         Prinsip mengenai suami isteri, saudara laki-laki dan saudara perempuan.
3.         Prinsip yang berkaitan dengan masalah mawali.
4.         Prinsip yang berkaitan dengan kalalah.
Keempat prinsip tersebut memiliki pijakan yang sangat kuat sebab bersumber kepada dalil naqli. Kemudian menurut ketentuan pada prinsipnya setiap orang dapat menjadi ahli waris. Akan tetapi terdapat pula beberapa hal yang dapat menutup seseorang untuk mendapat warisan. Dalam hal perbedaan agama, pembunuhan dan tidak tentu kematiannya. Keempat hal tadi dapat menghalangi seseorang untuk mendapat warisan. Keterhalangan untuk mendapat warisan tadi didasari atas dalil naqli baik Al-Quran maupun Hadis Nabi. Jadi ketentuan ini mengikat secara ketat bagi setiap muslim.
Janda dalam pembagian waris menurut hukum islam berhak untuk mendapatkan harta dari suaminya entah itu dari harta asal maupun harta bersama. Namun pembagian waris tersebut ditentukan apakah janda tersebut telah mempunyai anak atau tidak dengan suaminya yang telah meninggal atau cerai. Oleh karena itu kedudukan janda ditentukan oleh keberadaan anak.
B. Pelaksanaan Pembagian Waris Menurut Hukum Waris Adat Jawa Tengah dan Hukum Waris Islam
1. Pelaksanaan pembagian waris menurut hukum waris adat jawa tengah
Bagi masyarakat adat Jawa Tengah yang berstelsel kekerabatan parental, pada awalnya janda bukan ahli waris almarhum suaminya, namun berhak hidup dari harta keluarga peninggalan almarhum suami, meski sebenarnya sistem kekerabatan bilateral menempatkan kedudukan yang sama dan bertimbal balik antara suami istri untuk saling mewaris dalam kedudukan mereka sebagai janda atau duda. Jangkauan hak mewaris janda atau duda sifatnya terbatas hanya sepanjang harta gono gini saja. Tidak meliputi harta pribadi masing-masing suami isteri. Harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan atau yang diperoleh sebagai harta waris atau hibah baik sebelum atau sesudah perkawinan, dianggap harta gawan. Harta ini tidak termasuk katagori harta waris janda atau duda.
Sehubungan dengan hak dan kedudukan janda atau duda untuk saling mewaris terhadap harta bersama, Hukum Adat telah menentukan tata cara penyelesaiannya. Bila janda tidak memiliki anak, ada dua alternatif penyelesaian :
a. Penyelesaian Pertama :
• Harta gawan kembali ke asal, sebab janda tidak berhak mewarisi.
• Harta gono gini dikuasai seluruhnya oleh janda selama hidup atau selama dia belum kawin dengan lelaki lain.
Menurut penyelesaian ini, tidaklah menjadi soal apakah harta gono gini kecil atau besar jumlahnya. Hak ahli waris suami baru terbuka apabila janda meninggal dunia atau kawin lagi.

b. Penyelesaian Kedua :
• Harta gawan kembali ke asal.
• Harta gono gini langsung dibagi 2 :
- ½ bagian yang menjadi hak mutlak janda dan jatuh menjadi harta waris saudara janda apabila ia meninggal.
- ½ bagian yang menjadi hak mendiang suami jatuh menjadi harta waris para ahli waris mendiang suami.
Apabila dari perkawinan tersebut dikaruniai anak, kewarisan janda atas harta waris bersekutu dengan anak-anak dengan ketentuan :
a. Harta gawan menjadi hak waris dari anak-anak.
Terhadap harta gawan mendiang suami, janda tidak ikut bersekutu untuk mewarisi. Harta tersebut mutlak menjadi hak waris anak-anaknya.
b. Mengenai harta gono gini.
Sepanjang mengenai harta gono gini dijumpai tiga penyelesaian paling dominan:
•           Pertama : harta gono gini tetap utuh dalam kekuasaan janda selama dia masih hidup atau belum kawin dengan lelaki lain. Baru dapat dilakukan pembagian setelah dia meninggal atau kawin lagi.
•         Kedua : harta gono gini tetap utuh dikuasai janda, terbatas sampai anak-anak dewasa. Apabila semua anak-anak dewasa, harta gono gini dibagi.
•           Ketiga : harta gono gini langsung dibagi :
  - ½ bagian menjadi hak penuh janda.
- ½ bagian menjadi hak mendiang suami, menjadi harta waris bagi seluruh anak bersama janda dengan pembagian yang sama. Dalam hal ini besarnya bagian janda sama dengan bagian seorang anak.
Terlihat adanya perbedaan pemberian harta waris bagi janda dalam hal tidak ada anak. Janda bisa mewaris sepenuhnya atas harta gono gini, bisa juga tidak mewaris apabila hanya sebatas ½ dari harta gono gini dan ½ bagian yang lain jatuh ke ahli waris almarhum suami. Dalam hal ada anak, janda selain berhak atas ½ dari harta gono gini juga masih ditambah dengan hak janda sebesar bagian seorang anak atas ½ dari harta gono yang masih tersisa. Dengan demikian dalam hal ada anak, terlihat bahwa janda memiliki hak atas harta waris. Tetapi apabila hanya dengan memperhatikan sekedar pendapat diatas, belum bisa ditarik kesimpulan yang pasti akan bagaimana Hukum Waris Adat mengenai hak seorang janda untuk daerah Jawa karena masih ditemukan adanya perbedaan kemungkinan bagi janda dalam mewaris.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa janda berhak atas nafkah untuk seterusnya. Berhubung dengan kedudukannya didalam keluarga, maka untuk keperluan nafkah itu, terutama harta gono gini harus disediakan padanya. Apabila harta gono gini telah mencukupi untuk keperluan nafkah tersebut, baru ahli waris dapat menuntut supaya harta asal dari pewaris diterimakan kepada mereka.
Janda hanya memiliki hak untuk menikmati harta gono gini, sedangkan harta asal suami (almarhum) lazimnya kembali kepada keluarga suami, jika harta gono gini sudah mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup janda. Dari data penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta terlihat lagi perkembangan kesimpulan baru bahwa subyek hukum yang berhak mendapat harta waris adalah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanpa tahun):
a. Anak-anak kandung, anggota kerabat atau keluarga yang sedarah.
b. Anak-anak angkat (jika ada).
c. Isteri.

Kecenderungan sama ditemukan di Jawa Timur, hal mana berarti bahwa hak janda dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang diambil dari harta waris suami diakui (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan jilid 3 1977).
2. Pelaksanaan pembagian waris menurut hukum waris islam
Kedudukan janda menurut Al-Quran terdapat pada surah An-Nisa ayat 12 yang artinya sebagai berikut :
“Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta peninggalanmu, jika bagimu tidak ada anak, Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperdelapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak”.
Dari ayat ini memberi penjelasan bahwa janda (isteri) terhadap harta peninggalan almarhum suaminya akan memperoleh seperempat bagian, bila suami yang diwarisinya tidak mempunyai far’u waris yakni anak turun si mati yang berhak waris baik secara fardh mapun secara ushubah. Dan janda (isteri) almarhum suaminya akan memperoleh seperdelapan bagian, bila suami yang diwarisinya mempunyai far’u waris, baik yang lahir dari isteri pewaris ini maupun isterinya yang lain.
Pada hakekatnya, menurut ketentuan hukum Islam, kedudukan janda/para janda (isteri) alamarhum suaminya, sama kedudukan suaminya, kedudukan bapak dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan yaitu tidak pernah mahjub hirman atau terhalang, yaitu:
a. suami atau isteri,
b. anak laki-laki,
c. anak perempuan,
d. ayah, dan
e. ibu.

Dengan demikian janda (isteri) dari almarhum suaminya tidak akan pernah kehilangan hak waris dan pewaris. Hanya saja yang terjadi sebagaimana yang tersebut dalam ayat Al-Quran yang dikemukakan di atas yaitu perubahan besarnya bagian yang diperolehnya. Kadang seorang janda memperoleh seperempat bagian dari harta peninggalan suaminya, jikalau mempunyai anak dan seperdelapan bagian jika tidak mempunyai turunan (anak).
Kedudukan janda menurut putusan Pengadilan Agama, pada hakekatnya sama saja dengan ketentuan hukum Islam (menurut Al-Quran) sebagaimana yang diuraikan di atas. Karena para hakim dalam memutuskan perkara waris yang diajukan kepadanya juga berpedoman pada ketentuan Hukum Islam. Hanya saja oleh hakim Pengadilan Agama dalam menerapkan hukum Islam pada setiap putusannya bukan hanya semata-mata bersumberkan kepada Al-Quran dan Hadis-Hadis Nabi serta Ijma’ dan Qiyas serta kitab-kitab fiqh para madzhab dan sumber hukum lainnya, tapi para hakim juga menjadikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu rujukan dalam pengambilan keputusannya. Di mana setiap perkara perkara waris yang diajukan kepadanya bilamana salah seorang suami atau isteri yang meninggal lebih dahulu, maka isteri atau suami yang hidup memperoleh setengah bagian dari harta bersama selama masa perkawinan.
Dan setengan bagiannya itu menjadi harta warisan bagi pewaris terhadap para ahli warisnya. Hal tersebut sebagaimana termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 96 ayat (1) menyatakan:
“Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
Dan pasal 171 sub (ekonomi) menyatakan bahwa:
“harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Dengan demikian, bila seorang isteri (janda) ditinggal mati oleh almarhum suaminya di mana keduanya mempunyai harta yang diperoleh selama masa perkawinan yang disebut sebagai harta bersama, maka si janda memperoleh setengah bagian dari harta bersama ditambah seperempat bila tidak ada anak alamarhum seuaminya, atau seperdelapan bila punya anak dari setengan harta bersama yang disatukan dengan harta bawaan suaminya. Demikian praktek yang dilakukan oleh Badan Peradailan Agama bagi setiap perkara warisan bila salah seorang suami atau isteri yang menjadi pewaris .

BAB III
PENUTUP
A.        KESIMPULAN
1.        a. Janda menurut hukum waris adat tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut supaya barang-barang asal dari peninggal harta diterimakan kepada mereka.
b. Janda dalam pembagian waris menurut hukum islam berhak untuk mendapatkan harta dari suaminya entah itu dari harta asal maupun harta bersama. Namun pembagian waris tersebut ditentukan apakah janda tersebut telah mempunyai anak atau tidak dengan suaminya yang telah meninggal atau cerai. Oleh karena itu kedudukan janda ditentukan oleh keberadaan anak.

2.               a. Jangkauan hak mewaris janda sifatnya terbatas hanya sepanjang harta gono gini saja. Tidak         meliputi harta pribadi masing-masing suami isteri. Harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan atau yang diperoleh sebagai harta waris atau hibah baik sebelum atau sesudah perkawinan, dianggap harta gawan. Harta ini tidak termasuk katagori harta waris janda.
            b. Janda (isteri) terhadap harta peninggalan almarhum suaminya akan memperoleh seperempat   bagian, bila suami yang diwarisinya tidak mempunyai far’u waris yakni anak turun si mati yang berhak waris baik secara fardh mapun secara ushubah. Dan janda (isteri) almarhum suaminya akan memperoleh seperdelapan bagian, bila suami yang diwarisinya mempunyai far’u waris, baik yang lahir dari isteri pewaris ini maupun isterinya yang lain.
3.         SARAN
Kedudukan janda baik menurut hukum adat jawa tengah maupun menurut hukum islam pada dasarnya berhak menerima harta warisan dari bekas suaminya. Maka dari itu dalam pembagian harta warisan sebaiknya dilakukan musyawarah yang tepat agar pembagian waris tidak menimbulkan sengketa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar