1.
Pendahuluan
Matakuliah Ilmu Budaya Dasar
merupakan matakuliah wajib bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipayana khususnya dan Fakultas lain pada umumnya.
Paper Ilmu Budaya Dasar merupakan
salah satu Tugas atau prasyarat dalam menempuh Matakuliah Ilmu Budaya Dasar.
Sebagai tugas ketiga, kami kelompok 2
mendapat Tugas menulis Paper dengan judul Azas-azas
Keadilan.
Dan paper ini akan di presentasikan
di kelas dengan bimbingan Dosen Matakuliah Ilmu Budaya Dasar yaitu Ibu Siti
Masito, SH, MH. Atau dipanggil Ibu Iit.
Kami telah menyusun paper ini dengan
bekerjasama dan saling mengisi satu sama lain, sehingga paper ini dapat
tersusun dengan baik.
Paper ini terdiri dari Pendahuluan,
Bahasan Materi Kuliah Ilmu Budaya Dasar, Contoh kasus, pembahasan Studi kasus,
kesimpulan, penutup.
Kami sampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dosen Matakuliah Ilmu Budaya Dasar yaitu Ibu
Siti Masito, SH, MH. yang telah membimbing kami, dan juga kepada teman2
kelompok 2 yang telah memberi masukan sehingga paper ini dapat tersusun dengan
baik.
2. Materi Matakuliah Ilmu Budaya
Dasar
Azas-azas Keadilan
Secara
teoritis, azas untuk menentukan apakah sesuatu hal itu adil atau tidak adalah:
1.
Azas persamaan, yaitu setiap orang mendapatkan bagian secara
merata;
2.
Azas kebutuhan, yaitu setiap orang mendapat bagian sesuai dengan
kebutuhan/keperluannya;
3.
Azas kualifikasi, yaitu keadilan yang didasarkan pada kenyataan
bahwa yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan padanya;
4.
Azas prestasi objektif, yaitu apa yang menjadi bagian seseorang
didasarkan pada syarat-syarat objektif misalnya: kemampuan/keahlian seseorang;
5.
Azas subjektif, yaitu keadilan yang didasarkan pada syarat-syarat
subjektif misalnya ketekunan, kerajinan, dan sebagainya.
Dalam bidang
hukum beberapa azas keadilan antara lain adalah:
1.
Azas equality before the law, yaitu azas yang
menyatakan adanya persamaan hak dan derajat di muka hukum bagi setiap orang;
2.
Azas equal protection on the law, yaitu azas yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan yang sama oleh
hukum;
3.
Azas equal Justice under the law, yaitu azas yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama di bawah
hukum.
Di dalam
penegakkan hukum, suatu keadilan dilambangkan sebagai seorang perempuan yang
memegang timbangan dan sebilah pedang dengan mata yang tertutup. Hal ini melambangkan
suatu penegakkan hukum yang diharapkan dilakukan dengan seadil-adilnya
dilambangkan dengan timbangan, penuh ketegasan bagi yang melanggar dilambangkan
dengan sebilah pedang dan tidak pandang bulu/pilih kasih dalam penerapannya
dilambangkan dengan mata yang tertutup.
3. Studi Kasus
Pepatah hukum tajam ke
bawah namun tumpul ke atas memang bukan isapan jempol. Keadilan begitu mahal
bagi mereka yang tidak punya.
Demi memperoleh
keadilan, mereka yang tak mampu tak jarang melakukan berbagai cara. Berjalan
kaki ribuan kilo pun pernah dilakukan seorang bapak untuk menuntut keadilan
bagi anak. Namun tetap saja keadilan itu hanya sebuah mimpi yang sulit
terwujud.
Mirisnya lagi, mereka
yang tidak punya tersebut justru menjadi korban ketidakadilan para aparat
penegak hukum. Wakil negara yang seharusnya mengayomi justru membuat petaka
bagi rakyat yang papa.
Demi memperoleh keadilan
segala macam cara dilakukan. Berikut empat kisah memilukan mereka yang berusaha
mencari keadilan.
1. Jalan kaki dari Malang ke Mekkah
Indra Azwan (53), warga
Malang, Jawa Timur, rela berjalan kaki dari Malang menuju Jakarta untuk bertemu
SBY. Namun keadilan tak kunjung dia dapatkan. Bahkan kini bapak empat anak ini
sedang berjalan kaki menuju tanah suci Mekkah untuk mengadukan ketidakadilan
yang dia alami.
Indra Azwan adalah
seorang pencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki
Andika (12), pada 1993 silam. Pelakunya, Lettu Pol Joko Sumantri, hingga kini
tidak diadili. Dalam insiden tabrak lari tersebut, Rifki anaknya meninggal
dunia.
Benarkah keadilan akan
dia dapat setelah sampai di tanah suci? Semoga saja bapak ini segera
mendapatkan keadilan yang lebih dari 19 tahun itu.
Syamsul Arifin korban salah tangkap
polisi
Syamsul Arifin (23)
harus menempuh ribuan kilometer untuk mengadukan nasibnya yang mengenaskan
akibat salah tangkap. Dengan sepeda motornya Syamsul mencari keadilan guna memperbaiki
nama baiknya ke berbagai lembaga penegak hukum di Jakarta.
Sebelum ke Kompolnas,
Syamsul mengaku telah mengunjungi Komnas Ham, Polhukam, Polda dan Propam Polri
untuk mengadukan nasibnya. Meski demikian tak ada satupun lembaga tersebut yang
bisa menolongnya.
Syamsul menceritakan
kisah tragisnya berawal dari penangkapan tiba-tiba oleh aparat saat dirinya
hendak bekerja sebagai tukang mebel. Tanpa surat penahanan, Syamsul pun
digelandang ke Polsek Rungkut, Surabaya. Di sana, mukanya ditutup plastik hitam
dipukul dan dipaksa mengaku mencuri TV tetangganya.
Bahkan tanda tangannya
dipalsukan dalam BAP. Hasilnya, diapun ditahan selama 6 bulan. Beruntung dalam
persidangan Pengadilan Tinggi Surabaya, Syamsul dinyatakan bebas pada 5 Juli
2011.
Namun nasi sudah menjadi
bubur, rencana pernikahannya dengan wanita sang pujaan hati batal karena dia
tangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Lalu kepada siapa kini Syamsul harus
mengadukan nasibnya yang menjadi korban salah tangkap tersebut. Padahal nama
baik dan masa depan sudah hancur.
4. Analisis Kasus
Kasus
Indra Azwan
Tidak ada
yang salah dengan tindakan Indra Azwan untuk memperjuangkan keadilan atas
kematian anaknya agar pelaku dihukum sehingga keadilan ditegakkan, Tidak ada
pula yang salah dari SBY karena bukankah persoalan yuridis merupakan kewenangan
penegak hukum yang tidak boleh diintervensi siapa pun? Akan tetapi sebagai
kepala negara, Presiden adalah simbol.
Kepastian
hukum belum diperoleh karena masih ada upaya hukum luar biasa yang bisa dilakukan
Oditur Militer. Bukankah penyidik yang menyalahgunakan kewenangannya karena
terlambat melakukan penyidikan sudah diambil tindakan? Hal tersebut dapat pula
dipakai sebagai bukti baru (novum) dalam mengajukan peninjauan kembali (PK)
kepada Mahkamah Agung RI, mengingat peristiwa kecelakaan terjadi pada 1993
sehingga anggota Polri yang terlibat tindak pidana masih tunduk kepada
peradilan militer sebelum berlakunya UU No 2/2002 tentang Kepolisian RI, yang
menyatakan anggota Polri diadili oleh pengadilan umum bila terlibat dalam
tindak pidana. Apalagi, unsur kemanfaatan dan keadilan sampai saat ini masih
jauh dari harapan.
Apa yang
dialami Indra Azwan merupakan cermin bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan
tumpul ke atas, hal yang jamak terjadi dalam praktik hukum kita saat ini.
Akhirnya, semoga upaya yang tidak mengenal lelah dari Indra Azwan membuahkan
peluang untuk mendapatkan keadilan di negeri ini. Lebih dari itu, kiranya tidak
ada korban ketidakadilan sejenis di kemudian hari. Penegak hukum sudah seharusnya
bertindak profesional karena menunda pelayanan ialah bentuk ketidakadilan itu
sendiri.
Lagi pula
dalam hukum pidana tidak ada batas waktu pengajuan PK sehingga peluang
memperoleh keadilan masih dimungkinkan. Akhirnya, kepada penegak hukum
janganlah menyalahgunakan hukum kita, karena kepada merekalah, para pencari
keadilan menaruh asa.
Kasus syamsul Arifin
korban salah tangkap polisi
Penangkapan
yang dilakukan oknum Polda Jatim, membuat
Syamsul dibawah ke tempat yang berada di kawasan Rungkut Industri.
Syamsul dianiaya dan dipukuli hingga babak belur, hingga menutup kepalanya
dengan ditutupi kantong plastik hitam (kresek hitam), Syamsul dipukuli secara
membabi buta dengan kempalan tangan, tendangan dan sebuah kayupun dihempaskan
dikaki tempurungnya, dengan maksud Syamsul mengakui perbuatannya. Perihal
aniaya itu sangat menyiksa dan membuat cacat permanen bagi Syamsul (Korban
Salah Tangkap-red), tetapi Syamsul bersikukuh untuk tidak mengakui tindakan
pencurian yang dituduhkannya.
Akhirnya
Syamsul pun ditetapkan sebagai tersangka di Polda Jatim tertanggal 8 Februari
2011 dengan dijerat Pasal 363 KUHP, di Rutan Polda Jatim selama 53 Hari dan
sisanya di Rutan Medaeng Surabaya, jadi total Syamsul Arifin ditahan selama 6
bulan dan dirinya menyandang gelar napi
sampai diturunkannya berita ini. Ditambah dari pengakuan Kabid Humas Polda
Jatim, Kombes Pol Hilman Tayib bahwasanya keterangannya saat diwawanccaraai
oleh salah satu Tv Swasta di Jakarta. Bahwasanya Syamsul Arifin adalah
pembohong dan residivis. Namun Putusan
Pengadilan Surabaya diterimanya pada tanggal 4 Juli 2011.
Vonis bebas
dari pengadilan Negeri Surabaya Kamis (5/6/2011) lalu, dengan No Putusan :
1214/Pid.B/2011/PN.Sby. Tanggal 04 Juli 2011 tentang menyatakan bebas
bersyarat. Bahkan Syamsul Arifinpun memiliki bukti surat putusan ditingkat
kasasi (Mahkama Agung), dengan bukti
putusan Makamah Agung 1 Februari 2012 no. 2152 K/Pid. 2011-2012 yang amarnya
berbunyi sbb : Mengadili, menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi
dari pemohon kasasi : Jaksa / Penuntut umum pada kejaksaan Negeri Tanjung Perak
tersebut.
5. Kesimpulan
Keterkaitan Studi kasus dengan materi Azas
Keadilan
Melihat kasus-kasus diatas ada beberapa
simpulan dapat dikemukakan sebagai berikut;
Dalam
menegakkan hukum dan keadilan sudah seyogianya hal-hal berikut ini menjadi
pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai
ujung tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama, berani mencari
jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan
hukum yang “lama dan tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa
keadilan; Kedua, dalam kapasitas masing-masing penegak hukum (apakah sebagai
hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain) didorong untuk selalu
bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. Apa makna peraturan,
prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Ketiga, hukum hendaknya dijalankan
tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan kepedulian dan
semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita.
Perasaan
kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses penegakan hukum dan keadilan
terutama harus dimiliki oleh seorang hakim, karena abatan hakim adalah jabatan terhormat,
sehingga hakim merupakan anggota masyarakat yang terkemuka dan terhormat.
Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan bagi
seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan “etika spiritual dan moral” dalam
melaksanakan tugasnya sebagai wakil Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan.
Etika spiritual dan moral ini tercitrakan
ada jiwa, semangat, dan nilai ‘mission sacre’ kemanusiaan. Suatu
keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia dalam menegakkan
keadilan dan hukum (law enforcement), toleran, sehingga dapat menerima dan
memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), serta mendasarkan diri pada
kehidupan beragama.
Apabila hakim
tidak lagi menggunakan etika spiritual dan moral sebagai sandaran vertikal
sekaligus horizontal dalam pelaksanaan tugasnya, tidak heran jika krisis telah
melanda lembaga pengadilan. Akibat dari krisis yang cukup serius yang dialami
lembaga pengadilan, konsekuensi ikutan yang tidak kalah seriusnya adalah
surutnya kepercayaan dan hilangnya kewibawaan pengadilan di mata masyarakat.
Bahkan pengadilan di Indonesia telah sangat diragukan independensinya dalam
memeriksa dan memutus suatu kasus. Persepsi masyarakat pencari keadilan telah
nyata bahwa pengadilan di Indonesia “tidak lagi sebagai tempat mencari
keadilan, melainkan sebagai tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara,
dan sebagai tempat jual beli putusan.”
Saran
Selain kesimpulan, kami juga ingin
menyampaikan beberapa rekomendasi saran demi kesempurnaan makalah ini, antara lain :
1.
Lebih
di tingkatkan kembali ibadah kepada Allah SWT, agar kita diberi lindungan dalam
melakukan sesuatu.
2.
Menjadikan
Peraturan yang berlaku di Indonesia sebagai tolak ukur kita dalam melakukan
suatu perbuatan yang berkenaan dengan hukum.
3.
Meningkatkan
keadilan terhadap masyarakat tanpa memandang statusnya.
4.
Selalu
menjunjung keadilan dalam menegakkan hukum di Indonesia,
6. Penutup
Demikian
paper kelompok 2 kami persembahkan, apabila ada hal yang perlu didiskusikan mohon
bimbingan Ibu dosen yang kami hormati.
Terima
kasih…..
MATA
KULIAH : ILMU BUDAYA DASAR
TUGAS
3
AZAS
KEADILAN
Kelompok
2
Nama : 1.
Tri Cahyo Wibowo (1233 001 190)
2.
Puput Santika (1233.001 189)
3.
Heri S Umbara (1233 001 185)
4.
Hilman Anggriawan (1233 001 194)
5.
Andro Setiawan (1233 001 200)
6. Tomson Pargaulan S (1233 001 191)
7.
Ita Novita Arianti (1233 001 186)
8. Ulfa Siska D (1233
001 187)
9. Dwi Rahayu W
(1233 001 195)
10.
Dwi Apriliannisa R (1233 001
183)
KELAS
202
20
APRIL 2013
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
KRISNADWIPAYANA
JL.
RAYA JATIWARINGIN PODOK GEDE JAKARTA
mas punya putusan nya syamsul arifin korban salah tangkap gak.soalnya aku nyari di web ma dengan no putusan yang pean tulis itu gak ada .makasih
BalasHapus