KATA PENGANTAR
Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim
Segala puji dan syukur
kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang menciptakan manusia
dalam bentuk dan rupa yang sebaik-baikanya, dan dengan rahmat Nyalah penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam
semoga selalu dicurah limpahkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, serta kepada kita selaku umatnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam
sistematika maupun dalam bahasa. Oleh kerena itu, penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak, khususnya kepada
Dosen yang mengajar pada mata kuliah ini, dan penulis berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhirnya, hanya kepada
Allah kita semua mengembalikan segala urusan, semoga amal perbuatan kita
menjadi amal sholeh dan mendapat balasan yang berlipat ganda.
Wassalamu’alaikum , Wr. Wb.
BAB I
PENDAHULUAN
Poligami adalah sesuatu yang pada zaman sekarang ini banyak sekali di
perbincangkan baik oleh pihak yang sekiranya penting di Negara ini maupun
masyarakat biasa sekalipun. Definisi dari poligami tersebut
yakni ikatan perkawinan di mana seorang suami punya beberapa istri dalam waktu
bersamaan. Jika dilihat dalam persfektif Filsafat Hukum Islam, pandangan para
ulama terhadap kasus poligami ini menggolongkan pada tiga pendapat, yaitu:
1. Golongan pertama adalah ulama yang
membolehkan menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat-syarat dan kondisi
tertentu.
2. Golongan kedua memperbolehkan suami
mempunyai istri maksimal empat secara mutlak.
3. Golongan ketiga berpendapat bahwa
berpoligami adalah haram.
Dari ketiga
ijtihad tentang poligami ini, masih banyak sekali kontroversi yang
diperbincangkan didalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Karena itu, konteks
sejarah ketika turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul) tentang
kebolehan berpoligami harus dibaca secara cermat dan jernih, yaitu asbabun
nuzul ayat Al-qur’an tersebut turun seusai perang uhud, ketika banyak
pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang, sebagai
konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan
suaminya. akibatnya, banyak anak yatim terabaikan dalam kehidupan, pendidikan
dan masa depannya.
Poligami
mempunya implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan merasa
sakit hati bila melihat suaminya karena di dorong oleh rasa cinta setianya yang
dalam kepada suaminya. Umumnya istri mempercayai dan mencintai suaminya sepenuh
hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang cinta terhadap laki-laki lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
Poligami adalah
ikatan perkawinan di mana salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersamaan, Jadi poligami di sini adalah ikatan perkawinan di
mana seorang suami punya beberapa istri dalam waktu bersamaan.
Dasar Hukum poligami terdapat di dalam
al’ Qur an, yaitu;
"Dan jika kamu takut tidak akan
berbuat adil terhadap (hak-hak), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi dua,tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil,
maka(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (Q.S. An-Nisa 3)
Dalam persfektif
Filsafat Hukum Islam, secara garis besar pandangan para ulama secara
keseluruhan terhadap poligami dapat di golongkan pada tiga pendapat, yaitu:
1. Golongan pertama adalah ulama yang
membolehkan menikahi wanita lebih dari satu dengan syarat-syarat dan kondisi
tertentu yaitu apabila dalam keadaan darurat, jadi apabila tidak dalam keadaan
darurat maka di haramkan. Adapun contohnya yakni apabila Istri sakit-sakitan
dan mempunyai penyakit yang tidak dapat di sembuhkan lagi atau mandul maka
suami di perbolehkan berpoligami, Di antara tokoh ulama yang termasuk golongan
yang disebut sebagai pemikir kontemporer dan perundangan-undangan modern ini
adalah Muhammad Abduh, Sayyid Qutb, Fazlur Rahman, Amina Wadud dan lain-lain.
2. Golongan kedua memperbolehkan suami
mempunyai istri maksimal empat secara mutlak, dengan syarat mampu mencukupi
nafkah keluarga dan mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Pendapat ini di
pegangi oleh mayoritas pemikir ulama klasik dan pertengahan baik ulama mazhab
fiqh maupun tafsir.
3. Golongan ketiga berpendapat
bahwa berpoligami adalah haram, tokoh-tokoh yang mengharamkan poligami adalah
al-Haddad dan Habib Bu Ruqayba, mereka mengharamkan poligami yaitu menurut
al-Hadad di karenakan dengan turunnya surah An-Nisa ayat 129:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An-Nisa 129)
Mestinya
poligami harus dicegah karena tujuan perkawinan menurut Al-Haddad adalah untuk
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. sementara dalam kenyataan
poligami mengakibatkan sulit sekali melahirkan kehidupan yang harmonis dan
tentram antara suami istri dan anak-anak.
Dari ketiga
ijtihad tentang poligami ini, saya sendiri lebih sependapat dengan ijtihad
golongan pertama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh bahwa poligami
adalah suatu tindakan yang tidak boleh atau haram, akan tetapi poligami hanya
mungkin bisa di lakukan seorang suami dalam dalam hal-hal tertentu. Kebolehan
poligami sangat tergantung pada kondisi situasi dan tuntutan zaman. Karena itu,
konteks sejarah ketika turunnya ayat Al-qur’an (asbabun nuzul)
tentang kebolehan berpoligami harus dibaca secara cermat dan jernih, yaituasbabun
nuzul ayat Al-qur’an tersebut turun seusai perang uhud, ketika banyak
pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang, sebagai
konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan
suaminya. Akibatnya, banyak anak yatim terabaikan dalam kehidupan, pendidikan
dan masa depannya. Walaupun Muhammad Abduh sangat keras dalam mengharamkan
poligami, tetapi masih ada kemungkinan untuk melakukannya, yaitu apabila ada
ada tuntutan yang benar-benar mengharuskan seseorang melaksanakannya. Larangan
atau kebolehan melakukan poligami menurut Abduh lebih banyak di tentukan oleh
tuntuatan zaman yaitu keadaan darurat.
Menurut Abduh
poligami yang di lakukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan hukumnya haram.
Apabila alasannya di maksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata
menjadi tidak boleh, tetapi jika alasannya karena darurat maka kemungkinan
dibolehkannya untuk melakukan tetap ada.
Pendapat
berikutnya di kemukakan oleh Fazlur Rahman, Al-qur’an surah An-Nisa ayat 3 memang
menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu berbuat
adil dengan diikuti dengan penegasan “jika engkau khawatir tidak mampu
berbuat adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".Selanjutnya pada
Al-qur’an surah An-Nisa ayat 129 di tegaskan ”kamu sekalian kali tidak
akan berbuat adil terhadap istri-istrimu walaupun kamu sangat menghendaki
demikian".
Fazlur Rahman
tidak sependapat bahwa frase berlaku adil dalam surat An-Nisa ayat 3
hanya terbatas perlakuan lahiriah. Jika frase tersebut hanya pada perlakuan
lahiriah saja niscaya tidak ada penegasan dan peringatan yang di sebutkan dalam
ayat An-Nisa 129. Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan
memandang bahwa yang di maksud dan yang di tuju Al-qur'an yang sebenarnya
adalah menegakkan monogami, atau menyelamatkan Q.S. An-Nisa ayat 3 dan 129 dari
pengertian kontradiktif.
Sedangkan Sayyid
Qutub dalam kitabnya yang berjudul "fi zilal al qur'an"
mengatakan bahwa poligami merupakan perbuatan rukhsah, maka hanya
boleh dilakukan dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini
pun masih di syaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang di
tuntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta
pembagian malam.sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka
diharuskan cukup satu saja.
Seperti yang di kemukakan oleh para
mujtahid bahwa berpoligami hanya di perbolehkan hanya dalam keadaaan darurat,
oleh karena itu hukum asal dari perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab
dengan monogami akan mudah menetrelisirkan sifat atau watak cemburu, iri hati
dan dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, yang bisa menganggu ketenangan
dan membahayakan keutuhan keluarga. Sehingga sudah tepat bila Islam memandang
poligami lebih banyak membawa resiko atau mudharat dari pada manfaatnya, dengan
demikian poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga baik
konflik antara suami dan istri ataupun konflik istri beserta anak-anaknya,
karena itu poligami hanya di perbolehkan bila dalam keadaan darurat
Di samping itu
poligami mempunya implikasi negatif yaitu secara psikologis semua istri akan
merasa sakit hati bila melihat suaminya karena di dorong oleh rasa cinta
setianya yang dalam kepada suaminya. Umumnya istri mempercayai dan mencintai
suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang cinta
terhadap laki-laki lain. Istri selalu berharap suaminya berlaku sama terhadap
istrinya. Karena itu istri tidak dapat menerima suaminya membagi cintanya
kepada perempuan lain. Faktor kedua, istri merasa imperior seolah-olah suaminya
berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kebutuhan biologisnya.
Tetapi, dalam realitas kehidupan perempuan banyak menemui hal yang membuatnya
sedih dan marah, akan tetapi perasaan yang tidak menyenangkan itu ada kalanya
lebih ringan jika di bandingkan dengan dengan kesukaran hidup lainnya.
Dalam berbagai
keadaan tertentu, poligami diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga,
kemandulan seorang wanita atau penyakit yang diidapnya serta wanita yang
kehilangan daya tarik fisiknya atau mental yang akan lebih banyak menyeret
terjadinya percaraian dari pada poligami. Sudah sepatutnya istri yang demikian
merelakan suaminya melakukan poligami. Bila suaminya berkehendak untuk
melakukan poligami sebagai bukti tanggung jawabnya dalam rangka melestarikan
kehidupan keluarga dan memakmurkan bumi.
BAB
III
KESIMPULAN
Poligami tidak dikaramkan secara mutlak
dan juga tidak menghalalkan secara mutlak akan tetapi membolehkan hanya dalam
kondisi tertentu (darurat), hendaklah kita mengutip pesan Rasulullah dalam
sabdanya sebagai nasehat bagi kita semua yakni:
"Barangsiapa yang mempunyai dua
istri, dan condong kepada salah satu dari keduanya maka pada hari kiamat ia
akan datang dalam keadaan miring bahunya" (Abu dawud sulaiman al-asy'as
as-sajjastani, Sunan abu dawud ,kitab an nikah," Bab fi al-qisni baina
an-nisa, dis Dari ayyub dari abi qilabah Dari abdullah ibn yazid al-khatyimmi
Dari Aisyah ra).
Mudah-mudahan dengan hadis ini bagi yang
akan berpoligami terhindar dari bersikap tidak adil, karena bagaimanapun suami
yang berlaku berat sebelah terhadap istri-istrinya di dunia ini akan menerima
hukuman dan siksa di akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
1) Khairudin nasution, Perdebatan
Sekitar Status Poligami, Musawa, no. 1 maret 2002, hal 58.
2) Khairudin nasution, Riba
dan Poligami, Sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet. 1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hal 103.
3) Ghufron A mas'adi, Pemikiran
Fazlurrahman Tentang Metodelogi Pembaharuan Hukum Islam, cet.1 (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1997) hal 174-175.
4) Musdah Mulia, Pandangan
Islam Tentang Poligami, cet.1 (Jakata; Lembaga Kajian Agama dan Gender,
1999) hal 51.
5) Rif'at s nawawi, Sikap
Islam Tentang Poligami dan Monogami dalam Problematika Hukum Islam Kontomporer
oleh Chuzaimah T. Yanggo dan H. Anshari, (Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan, 1996) hal 108-109.
6) Muhammad Thalib, Tuntunan
Poligami dan Keutamaannya, cet. 1. Irsyad Baitus Salam, 2001, hal 27-31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar