Senin, 17 Desember 2012

“Seks Bebas dalam Cermin Budaya Jawa: Pandangan Kearifan Lokal terhadap Perilaku Free Sex”



Seks Bebas dalam Cermin Budaya Jawa: Pandangan Kearifan Lokal terhadap Perilaku Free Sex



BAB I

Pendahuluan

Perbincangan tentang free sex akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang amat tinggi. Di media elktronik seakan dapat disaksikan pada setiap program infotainment dan dialog-dialog yang ditayangkan oleh stasiun TV. Media cetak juga tidak ketinggalan mengekspos besar-besaran di seputar kehidupan seksual umat manusia ini. Dua peristiwa yang melatarbelakangi terhadap pemberitaan ini adalah dua hal yang berbeda, tetapi memiliki dampak yang luar biasa.

Pertama, video mesum Yahya Zaeni (YZ) dengan Maria Eva (ME). Gegap gempita pemberitaan kasus ini dapat ditemukan dalam Kedaulatan Rakyat. Pada halaman depan ditulis analisis “Dua Sisi Yahya Zaini” dan pada halaman belakang (24) diberitakan “Maria Eva Hibur Korban Lapindo” dan menghadiri reuni SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo. Yahya Zaini mendapat sorotan tajam di antaranya karena dia memiliki background sebagai anggota DPR dari fraksi Partai Golkar, mantan aktivis PB HMI, dan koordinator bidang keruhanian Partai Golkar. Sementara itu, Maria Eva yang alumni SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo ini sebagai penyanyi dangdut yang berarti sebagai public figure. Kedua, berita poligami K.H. Abdullah Gimnastiar atau lebih dikenal dengan Aa’ Gym. Pemberitaan terhadap Aa’ Gym di antaranya adalah karena ia seorang mubaligh yang sedang berada di atas puncak popularitas. Sebagai pengasuh Pesantren Daruttauhid Bandung, ia memiliki jaringan radio yang sangat luas di berbagai daerah dan TV Manajemen Qolbu yang sering diajarkan kepada umat, saat ia poligami menuntutnya untuk melaksanakannya lebih disiplin.

Meskipun dua kasus ini berbeda, tetapi ada benang merahnya, yaitu seks. Yang pertama terkait dengan eksploitasi seks di luar akad pernikahan dan kemudian diekspos ke luar, sedangkan yang kedua adalah tentang penyaluran libido seksual yang diikat dalam pernikahan kedua atau poligami. Yang pertama masyarakat seakan sudah ada konsensus bahwa eksploitasi seks tersebut bertentangan dengan agama dan norma budaya bangsa, meskipun hal tersebut diakui wajar dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa, karenanya YZ dan ME tetap bisa diterima oleh masyarakat meskipun hukuman sosial dirasakan amat berat. Kasus kedua merupakan ajaran agama yang debatable, diakui sekaligus digugat bahkan ada yang mengharamkan. Realitasnya, poligami secara hukum dan perundang-undangan tetap halal, tidak dilarang oleh undang-undang, dan hanya dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan, seperti dijadikan alat pemuasan nafsu seksual pelakunya. Meskipun demikian, Aa’ Gym telah menerima perlakuan sosial yang luar biasa keras, seperti cemoohan dan perlakuan lain yang dapat mengurangi kenyamanan hidupnya.

Tulisan ini hendak mengkaji tentang kearifan lokal Jawa terkait dengan kehidupan seks. Tulisan ini tidak membahas tentang halal-haram video mesum, dan tidak mengkaji tentang kontraversi di seputar poligami. Kajian difokuskan pada seksualitas masyarakat Jawa.





BAB II

PEMBAHASAN

Binalitas Politik

Godaan hidup bagi orang, menurut orang Jawa adalah harta, wanita, dan tahta. Harta menjadi godaan hidup dalam arti kurang atau berlebih menyangkut kesejahteraan ekonomi. Orang dalam kemiskinan rentan terjerumus dalam kekafiran. Orang yang dilanda miskin-papa akan mudah digoda oleh lingkungan sosialnya untuk menggadaikan kehormatannya. Kemiskinan bisa membuat orang tidak menggunakan nalar sehatnya sehingga ia tergoda untuk mencuri, menjual harga diri dengan melacur seksual (PSK), dan melacur politik sebagai broker dan pecundang politik dengan korupsi dan menjual keadilan

Kesejahteraan berlebih berarti kekayaan yang melimpah. Kekayaan juga akan mampu menggoda seseorang untuk berperilaku aneh seperti berfoya-foya, berlebih-lebihan (isyraf dan tabdzir), berperilaku aniaya terhadap yang miskin, ingin meraih kekuasaan lewat uang dan kekayaan yang dimiliki, maka terjadilah “money politics”, dan berperilaku seksual menyimpang atau minus moral dengan mempermainkan lain jenis sebagai pemuas nafsu.

Wanita sebagai penggoda maksudnya adalah libido suksual yang menggelora yang disimbolkan dengan kata wanita. Cinta buta menempatkan nafsu seksual menjadi dominan dan mempengaruhi alur pikir dan kebijakan yang diambil. Nafsu seksual jika telah menjadi orientasi hidup, maka individu tersebut membuat semua keputusan dalam hidupnya merupakan transaksi untuk kepentingan kepuasan diri. Harta dan kekuasaan yang semestinya menjadi media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan komunitas sosialnya sebaliknya digunakan untuk mendapatkan kepuasan seks kepada siapapun yang diminatinya.

Tahta menggoda seseorang untuk berperilaku lalim terhadap rakyatnya. Idealnya, harta atau kemampuan ekonomi, wanita, atau nafsu-syahwat (yang mampu membuat manusia survive di bumi), dan tahta atau kekuasaan politik dijadikan sebagai media untuk pengabdian kepada Tuhan dan sesama. Untuk itu, setiap individu yang mampu eling lan waspada, ingat dan waspada terhadap godaan dan mampu mengaturnya akan menjadi potensi untuk kebaikan hidupnya.

Dalam konteks politik yang terjadi akhir-akhir ini, menurut Boni Hargens sebagai binalitas politik karena politik tidak hanya rakus uang (harta) dan kekuasaan (tahta) atau banality of politics, tetapi juga haus seks (binality of politics). Ciri banal dan binal dalam politik kita sangat memalukan dan telah menisbikan prinsip moralitas dalam politik yang menunjukkan defisit moral pribadi para pejabat publik dan defisit moral politik secara general. Permainan uang, janji-janji jabatan, dan pelayanan seks dalam berpolitik menunjukkan indikator dekadensi moral yang amat memprihatinkan.



Seks dalam Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Wanita ideal dalam budaya Jawa digambarkan panyandra. Panyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.

Membincang seksualitas perempuan Jawa dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa yang erat sangkut-pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dan masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan banyak lelucon mengenai seks. Bahkan, seorang kiai juga sering bercerita tentang seks kepada santri dan umatnya. Pembicaraan dan pengetahuan tentang seks mengalir di antara teman akrab, kawan seprofesi, atau kawan bermain, dan ada juga yang mendapatkan dari wanita-wanita tunasusila di warung-warung pinggir jalan.

Oleh karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol lingga yoni. Lingga melambangkan falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakat nusantara sebagai penghalusan atau pasemon dari hal yang dianggap jorok. Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk ke dalam sarungnya.



Dalam melambangkan proses pembuahan ini Hariwijaya mengungkapkannya sebagai berikut.

Manusia dalam kosmologi Jawa berasal dari tirtasinduretna yang keluar saat pertemuan antara lingga yoni, kemudian berkembang menjadi janin dan dikandung dalam gua garba. Tirta sinduretna merupakan lambang dari air mani atau sperma laki-laki. Gua garba merupakan melambangkan untuk menghaluskan fungsi rahim seorang wanita. Proses magis spiritual ini disimbolkan dalam kalimat alegoris bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alubengkong. Secara harfiah, kalimat tersebut berarti sejenis sambal yang dibungkus daun asam yang diberi lidi alu bengkong. Bothok bantheng bermakna sperma; godhong asem bermakna kemaluan wanita; alu bengkong sebagai simbol alat kelamin pria. Dengan demikian, makna adalah bahwa asal-usul manusia berasal dari sperma yang membubuhi sel telur dari rahim wanita yang terjadi dalam proses persenggamaan. Dalam pandangan yang lain istilah dalam bathok bantheng adalah simbol keberadaan zat, hidup manusia; godhong asem sebagai simbol sifat manusia; alu bengkong melambangkan tingkah-laku. Maknanya, hidup manusia selalu terbungkus oleh sifat dan perilakunya.

Hubungan seksual dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan akan beraroma kenikmatan tinggi jika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan mengekspresikan kepuasan satu sama lain. Hubungan seksual demikian adalah seks yang sesungguhnya dan memberi arti yang sangat dalam.

Seks memberikan nilai keharmonisan hidup. Pemenuhan seksual (sexual fulfilment) adalah suatu hal ketika keduanya mencapai suatu momen yang memabukkan (ecstasy). Michael Reiss & J. Mark Halstead, dalam Sex Education menggambarkannya sebagai berikut.

Saya hanya bisa seperti apa bagi seorang pria, namun saya ya….. ketika saya dapat mencapai satu macam ikatan, ketika Anda sedang bersetubuh dan ……..Anda mendekati jiwa pasangan orang lain yang Anda tidak bisa dapatkan di kesempatan lain …. Ketika Anda lihat ke dalam mata pasangan, Anda seperti bisa melihat ke dalam jiwa mereka dan itu adalah ikatan— saya rasa, vagina saya menjadi jiwa saya juga… dan ketika kita berhubungan itu, seperti menggabungkan dua jiwa, dan itulah bentuk ikatan, lalu sensasi suatu rasa bahwa Anda telah menciptakan kepuasan seksual.

Hubungan seksual jika didasari oleh rasa cinta merupakan pemenuhan spiritual. Hal ini barangkali akan lebih mudah dipahami dalam konteks keagamaan. Dalam ajaran Islam, hasrat jiwa untuk menjadi satu dengan Tuhan biasanya diekspresikan secara simbolik dengan terma cinta manusia dan hasrat seksual. Dalam tasawuf, seks orgasme merupakan jalan menyatukan diri hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak-hak untuk dapat menikmati hubungan seks yang mereka lakukan.

Menurut kitab-kitab Jawa klasik, dalam hubungan seksual itu, unsur laki-laki adalah upaya atau alat untuk mencapai kebenaran yang agung, sedangkan unsur wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Dipahami bahwa persenggamaan adalah darma suami terhadap istri, dan sebaliknya merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Asmaragama ini ditunjukan kepada suami-istri atau sebuah pasangan tetap. Latihan untuk memahami teori seksual ini diperlukan kesungguhan, keajegan, ketenangan batin, dan sakralitas karena seks merupakan ritual sakral yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah mengikatkan diri dengan janji suci perkawinan.

Liberalitas Seksual dalam Masyarakat Jawa

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa berakar di Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Dalam konteks liberalitas seksual, ada hasil penelitian yang menyoroti tentang virginitas yang terasa sangat mengguncang kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa 97.05% mahasiswa di Yogyakarta telah kehilangan keperawanannya. Nyaris 100% atau secara matematis bisa disepadankan dengan 10 gadis dari 11 gadis sudah tidak perawan yang diakibatkan oleh hubungan seksual. Bukan karena kecelakaan yang memicu robeknya selaput dara vagina. Sebuah kebebasan yang dampaknya membuat semua orang berperadaban merinding tentang akibatnya. Terkait dengan budaya Jawa, apakah free sex tersebut memiliki akar budayanya karena Yogyakarta merupakan standar dan acuan budaya Jawa.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis sampaikan data yang diambil dari dokumen sastra, yaitu novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Pengambilan data dari buku fiksi dengan alasan; pertama, bahwa karya sastra merupakan fakta yang difiksikan. Realitas adalah produk dan konstruksi manusia. Pada tingkat paling ketat kita hanya dapat mengatakan bahwa fakta itu ada, yakni kenyataan, peristiwa, dan pengalaman yang kompleks, multifaset, senantiasa mengalir, tidak pernah habis terumuskan oleh khazanah pola ungkap manusia (kata, nada, gerak, rupa, dan sebagainya). Oleh karena itu, apa-nya pengalaman atau fakta itu selalu bisa diartikulasikan dengan banyak cara, banyak fiksi, banyak ilusi (sains, seni, ilmu-ilmu tradisional, wacana politik, agama, dan seterusnya). Kedua, pada konperensi Sastra Asia Tenggara ke-3 di Singapura pada tahun 1987 memunculkan perbincangan hangat, mengejutkan, dan mendapatkan tanggapan luas terkait dengan kesimpulan makalah, Mohammad Ridho ‘Eisy, peserta dari Indonesia, seorang pengamat sastra yang bermata tajam dan tinggal di Bandung yang dalam makalahnya ia mengupas novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak; Lintang Kemukus Dini Hari; dan Jantera Bianglala), yang menyatakan bahwa novel trilogi karya Ahmad Tohari tersebut merupakan sebuah novel yang mengandung dakwah Islam. Ketiga, menurut pengakuan penulisnya bahwa data sejarah dan budaya yang ada dalam trilogi RDP merupakan fakta riil dan pernah terjadi, hanya saja sebagian dari budaya yang ada itu sudah tidak bisa ditemukan lagi.

Keperawanan dan seks bagi masyarakat yang “berperadaban rendah” di Jawa sebagaimana tergambar dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menjadi sangat terbuka dan bebas. Free sex yang terjadi saat ini ada alur historisnya dalam budaya sebagian masyarakat Jawa yang belum mengenal agama (Islam) dengan baik dan pendidikan yang tidak memadai. Di antara persepsi tentang keperawanan dan seks yang terbuka bebas tersebut adalah sebagai berikut.

1. Free sex merupakan sesuatu yang dalam kondisi tertentu dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Jawa, meskipun hanya ditujukan pada perempuan tertentu.

Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuan-perermpuan yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. “Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan”. “Tapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya sudah kena encok”. “Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?” “Tetapi jangan sombong dulu, aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki yang pertama mencium Srintil”. “Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang. Suamiku atau suamimu”. Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan Ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya (RDP-CBE, hal. 38-39).

Dalam kenyataan riil, para istri saat ini juga permisif terhadap perilaku seksual suaminya yang bertentangan dengan agama. Mereka membiarkannya selama tidak menceraikannya dan tidak menikahi perempuan lain. “Silahkan berzina asal tetap kembali pulang sebagai suamiku”, demikian sikap permisif para istri. Di sisi lain, mereka akan memberontak jika suaminya beristri lagi secara sah (poligami).

2. Keperawanan bagi perempuan tertentu merupakan hal suci yang hanya bisa dipersembahkan pada suami, tetapi bagi orang tertentu seperti ronggeng atau semacamnya keperawanan menjadi alat mewisuda status atau profesi sebagai ronggeng, artis, atau bintang film. Kondisi tersebut diterima bukan hanya oleh laki-laki yang berkeinginan untuk menikmati keperawanan, tetapi juga menjadi alat bagi perempuan untuk menggapai kesenangan hidup glamour. Keperawanan bagi ronggeng dianggap milik umum yang bisa dipersembahkan pada saat bukak-klambu, maka acara seperti ini dipentaskan secara terbuka.

Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng berhak menikmati virginitas itu. Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki (RDP-CBE, hal. 38-39).

Secara kontekstual, kebanyakan orang Jawa juga suku lain yang permisif terhadap transaksi seks dan keperawanan (juga keperjakaan) bagi kalangan artis atau selebritis.

3. Keperawanan karena tidak dimaknai sebagai sesuatu yang sakral dan hanya boleh diberikan kepada suami yang sah, maka sebagian masyarakat karena dasar cinta kepada kekasihnya secara sadar melakukan pemberian “hadiah keperawanan” kepada orang yang dicintainya dengan pertimbangan dari pada direnggut oleh orang yang tidak diharapkannya. Srintil memberikan keperawanannya kepada Rasus sebagai bukti rasa cinta dan terimakasih kepadanya karena telah diberi sebuah keris Kyai Jaran Guyang. Pertama Srintil mau memberikan keperawanan di tanah pekuburan, dekat makam Ki Secamenggala, saat ini gagal karena Rasus yang juga sudah terangsang teringat bayangan Emaknya dan takut kuwalat karena di tanah pekuburan, dekat makam Ki Secamenggala. (RDP-CBE, hal. 67). Keperawanan Srintil akhirnya jadi diberikan kepada Rasus saat malam Bukak-klambu, sebelum keperawanan Srintil dibeli oleh Dower dan Sulam sekaligus. (RDP-CBE, hal. 76). Pemberian keperawanan Srintil secara sukarela untuk Rasus, orang yang dicintainya ia lakukan daripada direnggut oleh Dower dan Sulam, orang yang sama sekali tidak ia kenal yang telah mau membeli dengan harga mahal. Tentang keperawanan Srintil, Rasus mengenangnya.

Dari cara Srintil berbicara, dari caranya duduk di sampingku, dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat kejadian di belakang rumah Kartareja itu secara khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa peristiwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. Juga aku jadi percaya akan kata-kata yang pernah didengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia mengharapkan seorang kecintaan. Laki-laki yang datang tidak perlu mengeluarkan uang bila dia menjadi kecintaan sang ronggeng. (RDP-CBE, hal. 88-89).

4. Dalam tradisi tertentu, meskipun secara sembunyi-sembunyi, hubungan seks bisa dilakukan secara bebas oleh seseorang dengan tetangganya atau kawannya, dan jika hal ini diketahui oleh istrinya atau suaminya dianggap sebagai kewajaran dan tidak menimbulkan pertengkaran antarsuami atau istri. Rasus mengomentari tentang kondisi desanya.

Lain benar keadaannya dengan Dukuh Paruk di sana, seorang suami, misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga itu dengan menidurinya. Habis segala urusan! (RDP-CBE, hal. 85).

5. Hubungan seks dengan orang lain bahkan ada yang dijadikan sebagai alternatif penyelesaian problem kemandulan suami karena istri tidak kunjung hamil. Perilaku demikian juga bisa diterima oleh masyarakat dengan istilah lingga, kepanjangan dari peli tangga, artinya penis tetangga.

Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan pengertian moral tanpa tetek bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak pernah menimbulkan urusan. Di sana Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul. Obat itu bernama lingga; kependekan dua kata yang berarti penis tetangga. Dan obat itu, demi arwah Ki Secamenggala, bukan barang tabu apalagi aneh (RDP-CBE, hal. 86).

6. Hubungan seks juga ada yang digunakan untuk pendidikan dalam rangka persiapan rumah tangga agar si lelaki mampu menjadi suami secara utuh dalam melaksanakan tugas kesehariannya, baik di atas ranjang maupun pekerjaan (seperti pertanian). Pendidikan seperti itu disebut dengan Gowok. Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak laki-lakinya yang sudah menginjak dewasa, dan menjelang kawin. Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada lelaki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan istri secara baik. Misalnya, bagaimana mengajak istri kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah. Masa pergowokan biasanya hanya berlangsung beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan, tetapi perlu diketahui oleh semua orang adalah hal menyangkut tugas inti seorang gowok, yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru, sebuah sex education dalam arti yang sangat fulgar yang menurut Ahmad Tohari pernah terjadi secara riil di Jawa (RDP-LKDH, hal. 201).

Ketika memutuskan menerima menjadi gowok bagi Waras maka timbul kesadaran baru bagi Srintil. Bahwa dirinya adalah seorang perempuan dalam falsafah yang amat dalam. Perempuan yang harus mampu berperan banyak di hadapan seorang laki-laki muda yang hampir tersingkir dari identitas kelelakiannya, seorang perjaka yang tumbuh dalam malapetaka kejiwaan.

Kesadaran yang tulus yang tumbuh dari hati seorang Ronggeng sejati. Dan kesadaran itu muncul amat besar sebagai warna suatu gerak tari yang hanya dibaca oleh jiwa yang peka terhadap gelombang batin (RDP-LKDH, hal. 216)

Menjadi gowok adalah menjadi seniman pemangku naluri kelelakian dan menemukannya kembali bila kelelakian itu hilang. Sebuah tradisi yang juga ditolerir pada saat ini meski tanpa ada transaksi seperti gowok. Saat ini proses uji coba sebelum pernikahan dilakukan secara sadar oleh calon mempelai saat masih pacaran, meskipun banyak juga yang kemudian tidak jadi pernikahannya.

7. Hubungan seks ditolerir dengan orang lain yang menyediakan untuk itu seperti ronggeng. Ronggeng bisa dijadikan alternatif bagi para suami yang tidak mampu menahan hasrat seksual saat istrinya sedang hamil, melahirkan dan nifas sehingga harus libur dalam waktu yang lama.

Tetapi di Dukuh Paruk sama sekali tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang suami pun yang merasa rugi oleh kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam tatanan nilai yang jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. “Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tidak bisa menahan diri.” Pada tahun 1964 Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh (RDP-LKDH, hal. 227).

Melakukan hubungan Seks dengan perempuan lain saat tidak mungkin dilakukan dengan istrinya merupakan bukti sifat egoisme laki-laki dalam seks. Perempuan diharuskan “libur” sementara ia mencari sasaran lain yang tidak sah. Menurut Ahmad Tohari, dalam kenyataan para priyayi Jawa yang main judi, minum arak, main perempuan, dan minum candu pun kalau mampu tak jadi masalah. Mungkin hanya mencurilah yang dianggap merusak reputasi kepriyayian Jawa. Itupun kalau dilakukan secara bodoh dan terang-terangan. Kalau caranya halus, apalagi yang diambil adalah uang negara, he he he… (Belantik, BLTK, hal.19).

Memperhatikan tujuh kebebasan seks dalam masyarakat Jawa tersebut, menurut pandangan Erich From ini merupakan pelarian seseorang dari problem keterpisahan dan ketakbersatuannya dengan alam. Manusia menghadapi problem hidup setelah mendapatkan kesadaran tentang keterpisahan dan eksistensi ketakbersatuan (disunited existence) dengan alam menjadi penjara yang mengerikan bagi manusia. Manusia selalu amat cemas karena keterpisahan ini. Ia terus berusaha untuk membebaskan diri dari penjara mengerikan ini dengan mencari pertautan diri dengan orang lain dan dunia luar. Problem keterpisahan ini di antaranya diselesaikan dengan cara menenggelamkan diri dalam situasi orgiastik di antaranya berupa pengalaman seksual, dengan orgasme seksual dapat merasakan kepuasan menyatu yang hampir sama dengan trance dan obat bius. Ritus pesta seksual secara kelompok merupakan bagian dari ritus sebagian suku-suku primitif. Pengalaman orgiastik ini membuat manusia mampu bertahan dari derita keterpisahannya, dan untuk menjaga stamina pengalaman ini harus diulang. Sebagian individu biasanya berusaha mengatasi problem-problem keterpisahan dengan menggunakan bantuan alkohol dan obat bius. Penyelesaian ini pemakainya sulit untuk lepas dari perasaan bersalah dan penyesalan dan akan berusaha untuk meningkatkan frekuensi dan dosis pada waktu berikutnya. Penyelesaian lewat hubungan seksual (di luar pernikahan) memiliki efek yang hampir sama dengan pemakaian obat-obat bius atau minuman keras. Penyelesaian model ini hanya akan menambah rasa keterpisahan karena tindakan yang tidak didasari oleh cinta takkan pernah bisa menghubungkan jiwa suatu pasangan dan hanya bertahan dalam sementara waktu.

Gelora seksual Srintil dan keberaniannya mengajak Rasus untuk melakukan hubungan seksual seiring dengan pendapat Erich Fromm bahwa keinginan seksuallah yang merupakan manifestasi dari kebutuhan dari cinta dan kesatuan, berbeda dengan pandangan Freud yang mengatakan bahwa cinta adalah ekspresi –atau sublimasi– dari naluri seksual. Karena cinta, Srintil ingin memberikan keperawanannya tanpa imbal-balik materi kepada Rasus.

Petualangan orang semacam Bambung dalam pemuasan seksual, mungkin sesuai dengan pendapat Freud yang menganggap bahwa naluri seksual merupakan akibat dari ketergantungan yang terjadi dalam tubuh manusia, di mana ketegangan itu selalu mencari jalan keluar. Sejalan dengan materialisme psikologinya, Freud menyamakan pemenuhan dan kepuasan seksualitas seseorang sama dengan kesembuhan penyakit gatal. Konsekuensi pandangan Freud ini, masturbasi lebih tepat untuk pemenuhan kebutuhan seksual ini, bukan berhubungan seksual dengan perempuan. Hubungan seks antar jenis kelamin lebih didorong oleh kebutuhan untuk memperoleh kesatuan dengan lawan jenis.

Kehidupan ini berpasang-pasangan saling menyempurnakan. Langit membutuhkan uap air dari bumi untuk membentuk mendung yang akan menurunkan hujan dan menyuburkan bumi. Kelelakian menguat dan menjadi sempurna karena ada keperempuanan. Keperempuanan memperoleh eksistensinya karena ada kelelakian.

Bahwa dalam ketelanjangannya, laki-laki umumnya adalah manusia biasa dengan naluri kambing jantan, dengan naluri bayi yang merengek, dengan kebelingsatannya yang kadang cuma sebagai pelampiasan rasa tak percaya diri. Ingin disebut kuasa hanya karena rasa kurang yakin akan guna keberadaannya (RDP-JB, hal. 315).

Seiring dengan pemahaman Jawa, menurut Sigmund Freud, dalam Teori Naluri dikatakan; kaum laki-laki hanya menginginkan seks, nafsu seks muncul dalam diri individu, dan dia selanjutnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang penting di sini adalah seks, dan bukan individu yang memberikannya. Hasrat berjimak laki-laki banyak berkaitan dengan fisiologisnya karena laki-laki akan menimbun sperma ketika ada gejolak sehingga menuntut untuk memenuhi atau menyalurkannya dengan segera. Sementara itu, hasrat berjimak perempuan lebih banyak bersumber pada psikisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu-rayu dari orang yang dicintainya. Secara fisik tidak ada yang tertimbun sehingga tidak membutuhkan dengan segera untuk terpenuhi hasratnya.

Penyelewengan terhadap hubungan seksual ini banyak terjadi bahkan ada literatur tentang wisata seks. Perbedaan yang jelas dapat dibuat antara wisata seks (sex tourism), dan seks dalam wisata (seks in tourism). Wisata seks berhubungan dengan perjalanan ke suatu tempat dengan tujuan melakukan seks, biasanya dengan orang yang lebih muda, lebih miskin dari dirinya.

Kearifan Lokal dalam Budaya Jawa

Kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya.

Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik. Kebudayaan juga dimaknai sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam satu komunitas dalam rangka adaptasi diri individu dan kelompoknya agar tetap survive dan memiliki kualitas terbaik sesuai dengan pandangan hidup dan pengalamannya. Kebudayaan berarti terkait dengan kemunitas dan identitas sosial seperti Sunda, Batak, Bali, dan Jawa. Secara sosiologis kebudayaan akan berdialog dengan individu dan kelompok sosial, di mana individu akan memberi kontribusi terhadap perkembangan kebudayaan sebagaima orang lain secara individual maupun kelompok selalu memberikan saham untuk pengembangan dan perubahan terhadap budayanya.

Kebudayaan Jawa berakar di Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Peradaban ini mempunyai suatu sejarah kesusasteraan yang telah ada sejak empat abad yang lalu, dan memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara kraton, serta yang ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama terjadi di kota Kraton Solo, di mana berkembang berpuluh-puluh gerakan keagamaan kontemporer, yang disebut gerakan kebatinan. Daerah istana-istana Jawa ini sering disebut Negarigung. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di luar pulau Jawa disebut sebagai suatu subvariasi dari kebudayaan Jawa yang berbeda. Akulturasi budaya Jawa dengan kebudayaan asing akan memunculkan kebudayaan baru yang merupakan bagian dari varian budaya Jawa.

Heterogenitas budaya Jawa merupakan keniscayaan sejarah dan berlaku untuk kebudayaan apapun di dunia ini. Varian-viarian budaya sebagai konsekuensi dari akulturasi budaya ini semakin agresif bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang mampu membentuk “desa buwana” yang menunjukkan semakin tipis batas budaya suatu bangsa dengan bangsa lain.

Terkait dengan kearifan lokal (local wisdom), masyarakat Jawa mengenal beberapa kata kunci di antaranya adalah Ngana ya ngana neng aja ngana, “meski begitu, tapi yang jangan seperti itu”, demikian ungkapan orang Jawa. Ungkapan ini biasanya disampaikan saat terjadi sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan tatakrama. Wong kok orang duwe perasaan, demikian kata singkat yang sering diucapkan oleh orang Jawa, terhadap orang yang tidak punya tepa salira, tidak punya pengertian tentang bagaimana menempatkan diri secara bijak. Orang yang suka nggugu sak karepe dewe, orang suka semaunya sendiri “Rasa” sangat diperhatikan di Jawa dalam rangka menciptakan harmonitas sosial. Masyarakat Jawa yang berperasaan halus, berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, membantu orang lain sebanyak mungkin, membagi rizki dengan para tetangga, berusaha mengerti perasaan orang lain, dan kemampuan seseorang untuk dapat menghayati perasaan orang lain (tepasalira). Oleh sebab itu, anak-anak selalu diajarkan untuk berusaha untuk mendekati sifat-sifat itu.

Orang yang memiliki perasaan akan mengerti tentang unggah-ungguh atau tatakrama pergaulan yang pada intinya adalah memberikan rasa hormat kepada orangtua. Tua dalam pemaknaan yang luas seperti tua umur, pangkat-derajat, kekayaan (kaya), dan ilmu (cendekiawan dan ulama). Nilai-nilai budaya Jawa yang menentukan tingkah-laku orang Jawa dalam hubungan sosialnya, bagi Hildred Geertz memilih pengertian “hormat” sebagai titik-temu antara berbagai perasaan individu Jawa yang timbul bila ia berhadapan dengan orang lain. “...have complex meaning which only slightly overlap with the Amirican nation of respect” (Hildred Geertz 1961:110). Pengertian aji (hormat) dan ngajeni (menghormati) dalam bahasa Jawa mempunyai makna yang sama dengan pengertian hormat dalam bahasa Inggris respect karena mengenai perasaan bahwa orang yang bersangkutan adalah lebih tinggi derajatnya, mempunyai kewibawaan, dan memang seharusnya dikagumi dan dihormati. Unggah ungguh dan penghormatan ini merupakan unsur kebudayaan Jawa.

Jika orang Jawa memahami budayanya, maka akan tercipta sikap positif di antaranya aja dumeh, jangan sombong dan merasa lebih dari yang lain sehingga bersikap sewenang-wenang. Ia menjadi seorang yang santun, andap asor (rendah hati), tidak aji mumpung (memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok). Bagi orang Jawa segala sesuatu dipikirkan dengan baik, tidak tergesa-gesa dan tidak menempuh jalan pintas, ora grusa-grusu lan nggege mongso. Kontrol sosial tetap dilakukan dengan bingkai mikul duwur mendem jero, melakukan kritik dan pendampingan dengan tetap menjaga kehormatan orang atau masyarakat yang dikritik atau didampingi. Perbaikan selalu dilakukan dengan pelan dan bertahap sehingga tujuan dapat dicapai tanpa mengorbankan harmonitas yang dijunjung tinggi oleh orang Jawa. Menang tanpa ngasorake, mencapai cita-cita tanpa merendahkan dan mengalahkan. Strategi pendidikan dengan pendekatan semuanya menang. Demikian orang Jawa mengkonstruk budayanya yang diwariskan turun-temurun.

Terkait dengan pelanggaran terhadap norma hubungan seksual yang dilakukan oleh anggota DPR dan penyanyi, dan kontraversi poligami yang dilakukan oleh dai atau kiai atau siapa pun juga terlepas dari status sosial politik dan ekonomi. Dalam konteks budaya Jawa harus dilakukan kontrol dan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tetap menggunakan bahasa dan tatakrama Jawa yang didasarkan pada niatan mulia dan dengan cara yang baik sehingga yang bersangkutan bisa menjadi baik atau lebih baik tanpa harus meruntuhkan budaya dan saudaranya sendiri. Ekspos secara besar-besaran dan membabi-buta apalagi menghakimi akan berdampak negatif dan jauh dari prinsip edukatif. Setiap keputusan yang diambil oleh individu ada pertimbangan dan latarbelakang historisnya. Klaim dan penghakiman emosional akan meruntuhkan kemanusiaan yang akhir-akhir ini semakin berat untuk ditegakkan.



BAB III

Penutup



Seks bebas memiliki akar sejarah dalam budaya Jawa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kehidupan free sex yang melanda Yogyakarta dan juga kota-kota besar lain di Jawa ditanggapi secara dingin oleh komunitas Jawa termasuk oleh pendidikan yang berbasis keagamaan seperti pesantren dan STAIN. Sikap permisif ini bisa disebabkan oleh budaya Jawa yang akomodatif, tepo sliro dan semacamnya yang dimaknai pasif-statis sehingga berdampak negatif. Semestinya jargon dan ajaran yang sudah menjadi budaya Jawa tersebut dimaknai positif dan progresif sehingga memunculkan sikap hidup yang dinamis.

Dalam konteks bahasa, sebagai unsur budaya Jawa, bahasa Jawa termasuk rumit dan mengenal stratifikasi sosial memuat budaya feodal model Kraton yang dapat memunculkan harmonitas sosial semu. Karena ingin menjaga harmoni, konsep amar ma’ruf nahi munkar menjadi kehilangan greget-nya. Bahasa Jawa krama, tidak cocok untuk membuat ketegasan apalagi untuk pertengkaran. Bahasa halus menuntut kehalusan sikap juga. Dalam kerangka menggunakan bahasa lisan dan bahasa tubuh (body language) masyarakat Jawa mengenal istilah dupak dugang, esem mantri, senyum bupati dirasa cukup untuk merespon sesuatu, tetapi bila lurah marah dengan menggunakan suara yang keras. Struktur sosial seseorang mempengaruhi penggunaan bahasa, misalnya orang ningrat, pejabat, atau orang berpendidikan dirasa kurang tepat jika menggunakan bahasa yang kasar dan terlalu banyak, sedangkan orang biasa, awam, atau miskin menggunakan bahasa yang kasar dan jorok dianggap biasa dan dimaklumi (salah kaprah).

Memperhatikan aspek kesejarahan dan bahasa Jawa, pemberantasan free sex akan menemukan nilai kejawaannya jika dilakukan dengan pendekatan yang bijaksana, yaitu meletakkan budaya sebagai dasar untuk mengubah dan memperbaiki sehingga tidak terkesan menggurui dan memancing konflik. Untuk itu, diperlukan perencanaan program pembebasan dan pendidikan yang pelaksanaannya melibatkan berbagai komponen dan menggunakan idiom-idiom Jawa yang sudah mereka kenal adiluhung. Jika hal ini dilakukan, maka perbaikan akan diterima dan diakui. Jika dapat memecahkan persoalan atau pertentangan kita secara seksama dan matang, nantinya tidak ada orang yang akan merasa menang atau kalah, tinggi diri, atau rendah hati, “menang tanpo ngasorake” atau menang tanpa sifat merendahkan.

































Daftar Pustaka

Abdusshomad, Muhyyidin. 2005. Fiqh Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari. Malang: Pustaka al-Bayan- Nurul-Islam- Kalista.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Paramita.

Chodjim, Achmad. 2004. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Selekta.

Croock-Brauer. 2005. Quantum Love Between Eros and Libido. Yogyakarta: Baca.

Fromm, Erich. 2004. The Art of Love (Gaya Seni Bercinta). Ed. A. Setiono Mangoenprasodjo & Dyatmika Wulan Merwati. Yogyakarta: Pradipta Publishing.

Hariwijaya. 2004. Seks Jawa Klasik. Yogyakarta: Niagara Pustaka Sufi.

Ilyas, Hamim, dkk. 2003. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis “Misoginis”. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta – The Ford Foundation.

Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2006.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kompas, 7 Desember 2006.

Kompas, 7 Oktober 2006.

Kompas, 11 Desember 2006.

Lubis, Muchtar. 1988. “Harmonitas Sosial yang Bagaimana?”, dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988.

Perdana, Divana. 2003. Dugem. Yogyakarta: Diva Press.

Purwadi dan Djoko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Qomar, Mujamil. 2002. NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.

Reiss, Michael & J. Mark Halstead. 2004. Sex Education. Yogyakarta: Alenia Press.

Susanto, Astri S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.

Tohari, Ahmad. 1996. Berhala Kontemporer: Renungan Lepas Seputar Agama, Kemanusiaan, dan Budaya Masyarakat Urban. Surabaya: Risalah Gusti.

___________. 2001. Belantik: Bekisar Merah II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

___________. 2004. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar