Sifat
Melawan Hukum dalam
Fungsinya yang Negatif
Hukum pidana
kita memberlakukan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.
Merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun diterapkan dalam berbagai putusan
pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana tertentu,
apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak
lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan social adequat,
telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa tidak
dipidana. Di jatuhkan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Merupakan alasan
peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Merupakan alasan pembenar.
Berlakunya sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, merupakan alasan peniadaan
pidana di luar UU, dan termasuk alasan pembenar. Dan sejak arres
HR “dokter hewan dari kota Huizen”tanggal 2-2-1933 sampai sekarang sudah
dianut dalam praktik baik di Belanda maupun di Indonesia. Telah menjadi suatu
azas hukum yang tidak tertulis.
Di Indonesia,
banyak sekali putusan MA yang memberlakukan /menerapkan sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif. Contohnya, al:
> No.:
42K/Kr/1965: 8-1-1966: Pertimbangan hukum MA sbb: “Suatu tindakan pada umumnya
dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu
ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum
yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor: yakni:
Negara tidak dirugikan; kepentingan umum dilayani; tertuduh tidak dapat untung”
> No.:
72K/Kr/1970: 27-5-1972. . Pertimbangan hukum MA sbb: “Meskipun yang dituduhkan
adalah suatu delik formil namun Hakim secara materiil harus memperhatikan juga
adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tidak
dapat dihukum (materiele wederrechtelijkheid)”.
> No.
97K/Kr/1973 :17-10-1974. Pertimbangan hukum MA sbb: “Karena pebuatan-perbuatan
sebagaimana dituduhkan pada terdakwa merupakan tindakan-tindakan kebijaksanaan
dalam mengelola uang Perusahaan Negara (PN), yang menguntungkan PN serta sesuai
dengan program kerja PN dan dibenarkan pula oleh atasan terdakwa, lagi pula
tidak merugikan negara, kepentingan umum terlayani dan terdakwa pribadi tidak
mendapatkan untung, maka perbuatan terdakwa kehilangan sifat melawan
hukumnya”.
> No.
81K/Kr/1973: 16-12-1976. Pertimbangan hukum MA sbb: “Azas “materiele
wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke uitsluittinggrond”,
suatu buiten wettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu
alasan yang buiten wettelijk sifatnya merupakan
suatu “fait d’exuse” yang tidak tertulis, seperti dirumuskan
oleh dokrin dan jurisprodensi. Sesuai dengan tujuan dari azas “materiele
wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana, tidak
dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalahsocial adequat”.
Dicontohkan Pasal
328 KUHP, terdapat unsur “dengan maksud menempatkan orang itu secaramelawan
hukum”. Sementara Pasal 333 Ayat (1) KUHP, terdapat unsur
dengan sengaja dan melawan hukum. Karena di dahului oleh unsur maksud dan
sengaja, maka sifat melawan hukumnya merupakan sifat melawan hukum
subjektif. Ada 2 langkah untuk membuktikan adanya sifat melawan hukum
subjektif.
Pertama terlebih
dulu harus dapat dibuktikan secara objektif bahwa di dalam suatu perbuatan yang
didakwakan mengandung sifat celaan atau melawan hukum.Berdasarkan
keadaan-keadaan tertentu yang terdapat sekitar perbuatan maupun objek
perbuatan menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengandung sifat celaan.
Kedua, harus
dapat dibuktikan terdapatnya kesadaran pada diri si
pembuatnya, bahwa apa yang dilakukannya adalah mengandung sifat celaan.
Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut nilai-nilai
keadilan dan kepatutan dalam perbuatan tersebut tidak mengandung sifat celaan,
maka tidak mungkin terdapat kesadaran tentang sifat melawan hukum perbuatan
yang secara objektif pada perbuatan itu tidak mengandung sifat melawan hukum.
Contohnya,
terdapatnya suatu keadaan berupa
gejala-gejala kelainan jiwa seseorang. Maka menjadi wajar apabila orang
yang terdekat hubungan kekeluargaan meminta Rumah Sakit untuk memeriksa dan
merawat orang itu.
Dalam hal
perbuatan meminta RS untuk memeriksa dan merawat seseorang yang terdapat
gejala-gejala gangguan kejiwaan/mental seperti itu, maka tidak mungkin adanya
kehendak/kesadaran bahwa perbuatan itu sebagai tercela atau bersifat melawan
hukum. Justru perbuatan seperti itu merupakan perbuatan melaksanakan suatu
kewajiban hukum. Suatu perbuatan dilakukan dengan itikad baik.
Demikian juga,
misalnya orang tua yang memukul anaknya sebagai bentuk pendidikan, atauseorang
guru menjewer telinga muridnya, dan sebagainya. Semua perbuatan seperti itu
kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Sehingga pelakunya tidak patut
dijatuhi pidana karena perbuatan yang dilakukan telah kehilangan sifat melawan
hukumnya, yang telah menjadi social adequat. Kalau dalam
rumusan tindak pidana dicantumkan unsur sifat melwan hukum seperti Pasal 328
atau 333 Ayat (1) atau 335 KUHP, sementara unsur tersebut tidak
terbukti/tiada, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum..
Pasal 335 Ayat (1) KUHP. Kalau dirinci,
unsur-unsurnya sebagai berikut:
Perbuatan: memaksa
Objeknya : orang
dengan melawan hukum
Cara melakukan perbuatan (memaksa):
a. - dengan
kekerasan; atau
- dengan
perbuatan lain; maupun
- dengan
perbuatan yang tidak menyenangkan
b. - dengan
ancaman kekerasan; atau
- dengan
ancaman perbuatan lain; maupun
- dengan
ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan
Tujuan pembuat melakukan perbuatan:
a. orang
itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu
b. orang
itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu
c. orang
itu atau orang lain membiarkan sesuatu.
Unsur sifat
melawan hukum dalam perbuatan memaksa dari Pasal 335 KUHP, bersifat objektif.
Artinya menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam suatu wujud
perbuatan memaksa mengandung sifat celaan. Terdapat keadaan tertentu sebagai
indikator adanya sifat celaan dalam suatu perbuatan. Sebaliknya apabila
terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut sifatnya merupakan suatu
kewajaran, maka sifat melawan hukum yang diperlukan oleh Pasal 335 tersebut
tidak ada atau menjadi tiada. Misalnya, seorang guru yang memaksa muridnya yang
masuk kelas terlambat untuk lari mengelilingi lapangan sekolah, bila tidak
dilakukan maka ia tidak boleh masuk sekolah hari itu.
Pemaksaan dengan perbuatan tidak menyenangkan
oleh guru tersebut tidak mengandung sifat melawan hukum. Karena perbuatan
tersebut dalam rangka pendidikan, telah menjadi kewajaran dalam masyarakat,
atau sosial adequat . Sama halnya juga, misalnya apabila
terdapat gejala-gejala seseorang dalam keadaan adanya gangguan terhadap
mental/kejiwaannya. Maka menjadi suatu kewajaran, apabila anggota
keluarganya meminta pertolongan pada Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat
orang tersebut. Keadaan seperti itu tidak boleh dianggap sebagai memaksanya
untuk melakukan atau membiarkan sesuatu perbuatan secara melawan
hukum. Ukuran melawan hukum suatu perbuatan harus diukur dari ketidak
wajaran berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dalam hal seseorang
melakukan suatu perbuatan tertentu.
Pasal 304
KUHP, terdapat unsur hubungan antara si pembuat (yang menempatkan atau
membiarkan orang dalam keadaan sengsara) dengan orang yang ditempatkan dalam
keadaan sengsara. Unsur hubungan tersebut adalah berupa suatu kewajiban hukum
bagi si pelaku terhadap orang yang dibiarkan dalam keadaan sengsara. Kewajiban
hukum tersebut berupa, kewajiban untuk memberi kehidupan, perawatan
atau pemiliharaan. Kedudukan hukum seorang istri tidak merupakan
kedudukan hukum yang membeban kewajiban hukum untuk memberikan kehidupan,
perawatan atau pemiliharaan kepada suaminya. Sebaliknya justru suamilah yang
membeban kewajiban hukum tersebut kepada istri dan anak-anaknya. Pasal 304
KUHP tidak dimaksudkan untuk istri yang tidak berbuat apa-apa (membiarkan atau
menempatkan) pada suami pada waktu keadaan ekonomi dan kesehatan suami yang
sulit.
Pasal 45 Ayat
(1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga dalam UU 23 Tahun 2004, adalah “setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan dalam lingkup rumah tangga yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan psikologis”. Sifat melawan
hukum tidak dicantumkan sebagai unsur dalam Pasal 45 Ayat (1) jo 5 huruf b
UU No. 23 Tahun 2004. Unsur sifat melawan hukum dalam delik ini terdapat
secara terselubung di dalam unsur perbuatan kekerasan. Tidak perlu dibuktikan
secara khusus. Cukup membuktikan adanya unsur perbuatan kekerasan saja. Namun
sebaliknya, apabila di dalam perbuatan kekerasan tersebut kehilangan sifat
melawan hukum, maka ketiadaan sifat melawan hukum tersebut menjadi alasan
peniadaan pidana di luar UU. Keadaan ini terjadi disebabkan dalam hukum pidana
Belanda dan berlaku untuk Indonesia, menganut azas berlakunya sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Misalnya seorang petinju
dalam pertandingan memukul lawannya di atas ring, mengakibatkan lawannya
meninggal dunia. Seorang suami menampar muka istrinya yang terbukti
berzina. Seorang ayah memukul anaknya yang mencuri uang
ibunya. Perbuatan-perbuatan seperti contoh tersebut dapat menjadi
kewajaran (sosial adequat) menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Karena itu terhadap pelakunya tidak patut dijatuhi pidana, melainkan dilepaskan
dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Terdapat
perbedaan antara tidak terbuktinya atau tidak terdapatnya unsur sifat
melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan delik dengan hapusnya
/tiadanya sifat melawan hukum. Perbedaan itu adalah:
- Dalam hal
sifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Kemudian
unsur tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak ada/tiada, maka tindak pidana
tidak terjadi. Kepada terdakwa harus di bebaskan.
- Sementara
apabila unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak
pidana, namun terbukti suatu perbuatan dlam tindak pidana tersebut telah
kehilangan sifat melawan hukum perbuatan, maka kepada terdakwa dilepaskan dari
segala tuntutan hukum.
Studi Kasus tentang
Penerapan danPerkembangannya dalam YurisprudensiDr. Ny. Komariah Emong
Sapardjaya, S.H.
Semenjak
keluarnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Januari 1966, No.
42K/Kr/1965, telah berulang kali kaidah-kaidah tentang hilangnya sifat
melawan-hukum materiel yang diciptakannya, dipergunakan oleh
pengadilan-pengadilan bawahan sebagai alasan pembenar, terutama dalam
perkara-perkara korupsi. Dengan demikian, tindak pidana korupsi seringkali
dinyatakan tidak terbukti, sehingga terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum.
Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 3
Tahun 1971 dan keinginan pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi
secara lebih efektif, pada tahun 1980-an Mahkamah Agung dalam putusan tanggal
15 Desember 1982 No. 275K/Pid/1982, menegaskan arti sifat melawan-hukum
materiel, setidak-tidaknya dalam tindak pidana korupsi, yaitu sebagai perbuatan
yang: “karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela
atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak”.
Putusan ini juga merinci unsur tindak pidana
korupsi, yaitu: “negara dirugikan, kepentingan umum tidak dilayani dan terdakwa
mendapat untung”. Kaidah ini pun telah diikuti oleh beberapa putusan Mahkamah
Agung berikutnya untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi. Penafsiran
yudisial ini mengakibatkan semakin luasnya unsur tindak pidana korupsi daripada
sekadar kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang
‘pada waktu Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut
ditetapkan.
Hal ini membahayakan keajekan asas legalitas,
yang sangat fundamental sifatnya bagi hukum pidana. Walaupun dalam penerapannya
diharapkan akan momberikan keadilan, tetapi tetap saja akan menumbuhkan
pertentangan tajam antara kepastian hukum, di satu pihak, dan keadilan, di
pihak lain.Untuk mendekatkan kepastian hukum dan keadilan ini, kepastian hukum
dapat dipertajam dengan menggunakan “teori schutznorm”, sedangkan penafsiran
yang luas tadi harus dibatasi, dengan melihat manfaat bagi kepentingan
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar