Senin, 17 Desember 2012

FORENSIK


KASUS PERTAMA:
Belanda Kini Melakukan Suntik Mati Kepada Wanita Pikun
Belanda dikenal sebagai negara yang melegalkan hukum euthanasia. Selama ini hukum euthanasia diberlakukan hanya untuk pada orang-orang yang menderita sakit tidak tertahankan, sadar dan memiliki kontrol penuh pada mentalnya terutama pada keinginannya untuk mati.
Euthanasia berdasarkan wikipedia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Dan Belanda melegalkan hukum ini.
Seorang wanita 64 tahun yang menderita pikun parah atau demensia telah euthanasia di Belanda – walaupun dia tidak lagi dapat mengekspresikan keinginannya untuk mati. Wanita yang tidak disebutkan namanya adalah pendukung jangka panjang dari praktek kontroversial ini dan ia telah membuat pernyataan ditulis ketika dia masih dalam keadaan baik, mengatakan di rekaman keinginan bagaimana dia nanti akan mati. Wanita yang meninggal pada bulan Maret, telah tidak mampu mengulangi keinginan dia untuk mati akibat penyakitnya yang makin parah.
Constance de Vries, seorang dokter mengatakan bahwa kini ada pendapat kedua untuk kasus seperti orang penderita demensia yang memiliki implikasi serius bagi hukum euthanasia Belanda. Karena kita ketahui sebelumnya hukum euthanasia di Belanda mengharuskan pasien memiliki kesadaran penuh pada keingin matinya. Dengan perkembangan sekarang berarti pasien yang tidak lagi mampu membuat keinginan mereka masih dapat dibantu untuk mati.

Sebuah laporan yang dirilis awal tahun ini mengungkapkan total 21 pasien dengan stadium awal demensia, termasuk Alzheimer telah meninggal dengan suntikan mematikan di Belanda pada tahun 2010. Dan Ini adalah pertama kalinya penderita demensia telah dimasukkan dalam statistik eutanasia di Belanda.
Pendukung euthanasia menggunakan kisahnya untuk mempromosikan gagasan bahwa euthanasia bagi penderita demensia adalah cara yang cocok untuk menghindari penderitaan dan biaya kesehatan mahal. Serangkaian pertemuan publik telah diselenggarakan selama tahun lalu untuk mendorong orang tua untuk belajar tentang ‘hak’ mereka untuk mati, bahkan jika mereka berada dalam kesehatan yang baik, tetapi takut apa yang mungkin terjadi jika mereka didiagnosis dengan demensia di masa depan.
Tetapi praktek bunuh diri yang dibantu bagi pasien demensia masih kontroversial. Sementara beberapa 95 persen dari penduduk Belanda mendukung hukum euthanasia di negara itu, hanya 33 persen dari dokter Belanda setuju dengan menawarkan suntikan mematikan untuk penderita demensia. Untuk memenuhi syarat untuk euthanasia, pasien harus meyakinkan dua dokter mereka membuat pilihan informasi dalam menghadapi penderitaan yang tak tertahankan.












KASUS KEDUA:
Tuesday, 01 November 2011 08:07   

Dua orang oknum Satpol PP Kabupaten Bungo, Jambi, diketahui telah memperkosa seorang gadis berusia 15 tahun. Lebih memilukan, korban adalah korban pemerkosaan seorang pria lain, sebelum ditemukan oleh kedua oknum satpol PP, Senin (31/10/2011) kemarin.
Dua oknum anggota Satpol PP Bungo itu adalah WD (33) warga kelurahan Batang Bungo dan AF (24) warga kelurahan Tanjung Gedang Pasar Muara Bungo, Jambi. Informasi yang dikumpulkan di lapangan menyebutkan, kedua aparat satpol PP itu tega memperkosa korban setelah sebelumnya korban diperkosa lelaki lain.
Saat kejadian, kedua pelaku yang masih menggunakan pakaian dinas lengkap melintas di jalan lokasi terjadinya perkosaan. Keduanya melihat korban dalam kondisi lemas. Setelah puas menyetubuhi korban, kedua pelaku ini lantas mengancam korban agar tidak menceritakan kejadian tersebut pada siapapun, jika tidak ingin dibunuh.
Setelah itu, WD dan AF memberitahukan kejadian itu kepada keluarga korban dan membawa korban ke Mapolres Bungo untuk melapor. Keduanya berhasil ditangkap setelah sebelumnya pada pukul 15.40 WIB sore tim Buser Polres Bungo, dibawah pimpinan Brigadir Nainggolan berhasil menangkap MF, pelaku perkosaan pertama.
Selanjutnya, Polisi menuju rumah WD dan AF yang juga dilaporkan ikut memperkosa korban. WD diamankan sekitar pukul 18.00 WIB di rumahnya, sedangkan AF diamankan sekitar pukul 19.00 WIB.
Kapolres Bungo AKBP Budi Wasono melalui kasat reskrim AKP Herman membenarkan penangkapan ketiga pelaku ini. Saat ini, pelaku masih dalam pemeriksaan, sementara korban masih mengalami trauma.
Awalnya penyidik PPA kesulitan meminta keterangan dari korban, lantaran korban masih takut. Namun setelah satu pelaku berhasil ditangkap, korban akhirnya menceritakan semua yang telah terjadi termasuk ulah dua oknum anggota satpol PP yang ikut memperkosa dirinya.
Kasat Pol PP Bungo Djusri Ramli ketika dihubungi via Ponsel, dengan tegas mengatakan, Satpol PP Bungo tidak akan membela siapapun anggotanya yang melakukan tindak kriminalitas.
Kita tidak akan menutupi, siapa saja anggota Pol PP yang bersalah, kami serahkan pada proses hukum berlaku. Jika kedua anggota kita ini bersalah kita akan keluarkan mereka dengan tidak hormat,” kata Djusri Ramli.













ANALISIS
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki setiap individu semenjak mereka lahir.  HAM bersifat universal, hakiki, tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi, dan saling tergantung.  HAM juga telah ditemukan dari zaman dahulu.  Pada masa itu nilai-nilai hak asasi masih tersebar dan tidak memiliki nilai khusus, namun terkandung dalam nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang ada di masyarakat.  Dan saat ini masyarakat modern telah merumusan dan menentukan standar dari HAM secara Internasional.

Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) di deklarasikan pada pertemuan negara-negara anggota PBB tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Perancis.  Deklarasi ini merupakan suatu buah dari kepedulian yang timbul di seluruh dunia setelah usainya Perang Dunia ke-2.  Saat itu seluruh dunia telah melihat dan merasakan dampak dari perang modern, dan di dalamnya juga ikut terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.  Hal ini dikarenakan belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan HAM.  Pada saat perang masih berlangsung, pihak Sekutu menggunakan dasar Four Freedoms sebagai tujuan peperangan, yang menjadi dasar dari DUHAM.

DUHAM memiliki 30 pasal, dinyatakan bahwa setiap manusia berhak atas kehidupan yang bebas dan merdeka dengan martabat yang sama (pasal 1) dan setiap manusia, tanpa terkecuali, berhak atas setiap hak dan kebebasan yang terdapat dalam deklarasi ini (pasal 2).  Setiap manusia juga berhak mendapat keselamatan  dan kebebasan atas kehidupannya (pasal 3), sehingga tidak seorang manusia boleh di perbudak (pasal 4) dan di siksa atau diperlakukan tidak manusiawi (pasal 5).

DUHAM juga menjabarkan hak-hak seseorang dalam menghadapi isu-isu hukum dan peradilan.  Setiap orang berhak mendapatkan pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum (pasal 6), berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi (pasal 7), dan pemulihan yang efektif dari proses pengadilan (pasal 8).  Dilarang untuk menahan, menangkap, dan mengasingkan siapapun dengan sewanang-wenang.  Dan setiap orang juga mempunyai persamaan yang penuh atas peradilan yang dipastikan adil, terbuka, dan tidak semena-mena dipersalahkan (pasal 10&11).

Dalam hal kehidupan bernegara dan sehari-hari, dikatakan bahwa mengganggu urusan pribadi dan mencemarkan nama baik merupakan hal yang dilarang (pasal 12).  Setiap manusia juga berhak berpindah di setiap negara, baik ke dalam maupun keluar (pasal 13), mendapatkan suaka di negeri lain (pasal 14), mendapatkan kewarganaegaraan (pasal 15), serta hak untuk menikah dan berkeluarga (pasal 16).  Setiap individu juga dapat memiliki harta dan berhak untuk tidak dirampas hartanya (pasal 17).  Dalam kehidupannya seseorang juga berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan agama (pasal 18), keb0ebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat (pasal 19&20), dan berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya (pasal 21).  Sebagai warga negara, setiap manusia juga berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi,sosial, dan budaya (pasal 22), kebebasan memilih pekerjaan, pengupahan yang adil, istirahat dan liburan (pasal 23,24). Setiap orang juga berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya (pasal 25), dan juga memperoleh pendidikan yang layak (pasal 26).

DUHAM juga menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk ikut serta dalam kebudayaan suatu masyarakat dengan bebas (pasal 27), berhak untuk ikut berpartisipasi dalam tatanan sosial dan internasional (pasal 28), dan berhak atas hak dan kewajiban serta tunduk atas hukum demokratis dalam masyarakat tersebut (pasal 29).

Pasal yang terakhir menegaskan tidak satupun dari pasal pada dekrasi ini yang dapat memberikan suatu negara, kelompok, atau individu, hak untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan tindakan yang bertujuan untuk merusak hak-hak kebebasan yang telah dituangkan dalam deklarasi ini.  Oleh karena ini deklarasi ini telah mencakup sebagian besar aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia.  Meskipun masih ada kekurangan didalamnya, seperti mengenai hukuman mati, namun DUHAM sudah merupakan pijakan yang baik untuk menciptakan dunia dan masyarakat yang sadar akan akan HAM.

Analisis Pasal 285 KUHP dalam Perspektif Hukum Kritis
Teori atau studi hukum kritis menghendaki pembaharuan terhadap hukum positif yang dinilai ortodoks, kuno, dan formalistik dengan pendekatan yang lebih kritis. Studi hukum kritis memandang bahwa hukum positif yang berlaku tidak selamanya sesuai karena masyarakat terus berkembang dan hukum positif akan ketinggalan dengan fenomena itu.
Salah satu peraturan dalam hukum positif yang dapat dianalisis dari sudut pandang teori hukum kritis adalah pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Dalam pasal ini perkosaan dirumuskan sebagai tindakan “… dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia…”. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasa; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.

Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina), bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri (marital rape) atau bagaimana jika korban perkosaan itu adalah laki-laki? tentunya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh hukum positif. Jika para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap menggunakan hukum positif dan logika formal (pasal 285 KUHP) an sich dalam kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur pasal 285 KUHP. Beberapa kelemahan yang terdapat dalam KUHP tersebut sangat wajar mengingat usia KUHP saat ini lebih dari 60 tahun.
Dengan demikian, menurut studi hukum kritis penerapan pasal 285 KUHP secara an-sich oleh aparat penegak hukum harus sudah mulai ditinggalkan. Artinya, aparat penegak hukum harus membuka wacananya bahwa kejahatan perkosaan terus berkembang sehingga tidak hanya menerapkan hukum secara tekstual menggunakan logika formal, tetapi juga kontekstual menggunakan nalar dan hati nurani sebagai pisau alanisis dalam menyelesaikan perkara hukum.
Di Indonesia, praktek penggunaan analisis hukum kritis ini bukan barang baru, hal ini sudah diperkenalkan oleh Bismar Siregar, seorang Hakim yang sangat hebat di era tahun 1980-an yang berani menggunakan nalar pikirnya melampaui hukum positif yang ada pada waktu itu. Meskipun pada akhirnya putusannya dimentahkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, namun dari situ dapat dilihat bahwa kelemahan hukum positif adalah tidak mampu menjangkau perkembangan kehidupan manusia yang sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan kritik dan pembaharuan terhadap hukum secara terus menerus.
KUHP sebagai landasan hukum positif dalam bidang kepidanaan harus segera diperbahui mengingat usianya yang sudah ‘tua’ dan sudah tidak dapat mengikuti perkembangan dunia kriminalitas yang semakin pesat dan canggih. Penerapan kajian hukum kritis terhadap hukum positif harus ditingkatkan, khususnya oleh aparat penegak hukum. Karena saat ini hakim dan penegak hukum lainnya tidak lagi hanya sebagai corong undang-undang, tetapi juga harus kritis dalam menerapkan hukum agar tercipta keadilan dalam masyarakat.
UU No 36/2009 mengakomodasi dan memasukkan isu antara lain paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; pengakuan terhadap isu kesehatan reproduksi (bagian VI Pasal 71 sampai Pasal 77; aborsi yang diperluas untuk korban pemerkosaan, aborsi dibolehkan dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 Ayat 2 dan 3); pembiayaan kesehatan, yakni 5 persen dari APBN, 10 dari APBD dan dua pertiga untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
UU juga mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengharuskan pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung (Pasal 128); kesehatan remaja dan lanjut usia; serta hak mendapat informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV). Diakomodasinya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam UU ini.
















TUGAS HUKUM FORENSIK



Tidak ada komentar:

Posting Komentar