KASUS PERTAMA:
Belanda Kini Melakukan Suntik Mati Kepada Wanita Pikun
Belanda
dikenal sebagai negara yang melegalkan hukum euthanasia. Selama ini hukum
euthanasia diberlakukan hanya untuk pada orang-orang yang menderita sakit tidak
tertahankan, sadar dan memiliki kontrol penuh pada mentalnya terutama pada
keinginannya untuk mati.
Euthanasia
berdasarkan wikipedia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan
melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan. Dan Belanda melegalkan hukum ini.
Seorang
wanita 64 tahun yang menderita pikun parah atau demensia telah euthanasia di
Belanda – walaupun dia tidak lagi dapat mengekspresikan keinginannya untuk
mati. Wanita yang tidak disebutkan namanya adalah pendukung jangka panjang dari
praktek kontroversial ini dan ia telah membuat pernyataan ditulis ketika dia
masih dalam keadaan baik, mengatakan di rekaman keinginan bagaimana dia nanti
akan mati. Wanita yang meninggal pada bulan Maret, telah tidak mampu mengulangi
keinginan dia untuk mati akibat penyakitnya yang makin parah.
Constance de Vries, seorang dokter
mengatakan bahwa kini ada pendapat kedua untuk kasus seperti orang penderita
demensia yang memiliki implikasi serius bagi hukum euthanasia Belanda. Karena
kita ketahui sebelumnya hukum euthanasia di Belanda mengharuskan pasien
memiliki kesadaran penuh pada keingin matinya. Dengan perkembangan sekarang
berarti pasien yang tidak lagi mampu membuat keinginan mereka masih dapat
dibantu untuk mati.
Sebuah laporan yang dirilis awal tahun ini mengungkapkan total 21 pasien dengan stadium awal demensia, termasuk Alzheimer telah meninggal dengan suntikan mematikan di Belanda pada tahun 2010. Dan Ini adalah pertama kalinya penderita demensia telah dimasukkan dalam statistik eutanasia di Belanda.
Sebuah laporan yang dirilis awal tahun ini mengungkapkan total 21 pasien dengan stadium awal demensia, termasuk Alzheimer telah meninggal dengan suntikan mematikan di Belanda pada tahun 2010. Dan Ini adalah pertama kalinya penderita demensia telah dimasukkan dalam statistik eutanasia di Belanda.
Pendukung
euthanasia menggunakan kisahnya untuk mempromosikan gagasan bahwa euthanasia
bagi penderita demensia adalah cara yang cocok untuk menghindari penderitaan
dan biaya kesehatan mahal. Serangkaian pertemuan publik telah diselenggarakan
selama tahun lalu untuk mendorong orang tua untuk belajar tentang ‘hak’ mereka
untuk mati, bahkan jika mereka berada dalam kesehatan yang baik, tetapi takut
apa yang mungkin terjadi jika mereka didiagnosis dengan demensia di masa depan.
Tetapi
praktek bunuh diri yang dibantu bagi pasien demensia masih kontroversial.
Sementara beberapa 95 persen dari penduduk Belanda mendukung hukum euthanasia
di negara itu, hanya 33 persen dari dokter Belanda setuju dengan menawarkan
suntikan mematikan untuk penderita demensia. Untuk memenuhi syarat untuk
euthanasia, pasien harus meyakinkan dua dokter mereka membuat pilihan informasi
dalam menghadapi penderitaan yang tak tertahankan.
KASUS KEDUA:
|
Dua orang oknum Satpol PP Kabupaten Bungo,
Jambi, diketahui telah memperkosa seorang gadis berusia 15 tahun. Lebih memilukan,
korban adalah korban pemerkosaan seorang pria lain, sebelum ditemukan oleh
kedua oknum satpol PP, Senin (31/10/2011) kemarin.
Dua oknum anggota Satpol PP Bungo
itu adalah WD (33) warga kelurahan Batang Bungo dan AF (24) warga kelurahan
Tanjung Gedang Pasar Muara Bungo, Jambi. Informasi yang dikumpulkan di
lapangan menyebutkan, kedua aparat satpol PP itu tega memperkosa korban
setelah sebelumnya korban diperkosa lelaki lain.
Saat kejadian, kedua pelaku yang masih
menggunakan pakaian dinas lengkap melintas di jalan lokasi terjadinya
perkosaan. Keduanya melihat korban dalam kondisi lemas. Setelah puas
menyetubuhi korban, kedua pelaku ini lantas mengancam korban agar tidak
menceritakan kejadian tersebut pada siapapun, jika tidak ingin dibunuh.
Setelah itu, WD dan AF
memberitahukan kejadian itu kepada keluarga korban dan membawa korban ke
Mapolres Bungo untuk melapor. Keduanya berhasil ditangkap setelah sebelumnya
pada pukul 15.40 WIB sore tim Buser Polres Bungo, dibawah pimpinan
Brigadir Nainggolan berhasil menangkap MF, pelaku perkosaan pertama.
Selanjutnya, Polisi menuju rumah
WD dan AF yang juga
dilaporkan ikut memperkosa korban. WD diamankan sekitar pukul 18.00 WIB di
rumahnya, sedangkan AF diamankan sekitar pukul 19.00 WIB.
Kapolres Bungo AKBP Budi Wasono
melalui kasat reskrim AKP Herman membenarkan penangkapan ketiga pelaku ini.
Saat ini, pelaku masih dalam pemeriksaan, sementara korban masih mengalami
trauma.
Awalnya penyidik PPA kesulitan
meminta keterangan dari korban, lantaran korban masih takut. Namun setelah
satu pelaku berhasil ditangkap, korban akhirnya menceritakan semua yang telah
terjadi termasuk ulah dua oknum anggota satpol PP yang ikut memperkosa
dirinya.
Kasat Pol PP Bungo Djusri Ramli
ketika dihubungi via Ponsel, dengan tegas mengatakan, Satpol PP Bungo tidak akan
membela siapapun anggotanya yang melakukan tindak kriminalitas.
“Kita tidak akan menutupi, siapa saja anggota
Pol PP yang bersalah, kami serahkan pada proses hukum berlaku. Jika kedua
anggota kita ini bersalah kita akan keluarkan mereka dengan tidak hormat,”
kata Djusri Ramli.
|
|
ANALISIS
Di Indonesia
sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda.
Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar
merupakan narapidana politik.
Walaupun amandemen
kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan
ancaman hukuman mati.
Kelompok
pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya
hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup
dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran
terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga 2006
tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman
hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti
terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan
adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Vonis atau
hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat
Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya
menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
Berdasarkan
hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan
pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal
hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia
oleh siapa pun.
Ketua umum
pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid
Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo
Selasa 5 Oktober 2004 [12]
menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan"
hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki
setiap individu semenjak mereka lahir. HAM bersifat universal, hakiki,
tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi, dan saling tergantung. HAM
juga telah ditemukan dari zaman dahulu. Pada masa itu nilai-nilai hak
asasi masih tersebar dan tidak memiliki nilai khusus, namun terkandung dalam
nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang ada di masyarakat. Dan saat
ini masyarakat modern telah merumusan dan menentukan standar dari HAM secara
Internasional.
Universal Declaration of Human
Rights (DUHAM) di deklarasikan pada pertemuan negara-negara anggota PBB
tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Perancis. Deklarasi ini merupakan
suatu buah dari kepedulian yang timbul di seluruh dunia setelah usainya
Perang Dunia ke-2. Saat itu seluruh dunia telah melihat dan merasakan
dampak dari perang modern, dan di dalamnya juga ikut terjadi pelanggaran
hak-hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan belum adanya ketentuan yang
mengatur mengenai perlindungan HAM. Pada saat perang masih berlangsung,
pihak Sekutu menggunakan dasar Four Freedoms sebagai tujuan
peperangan, yang menjadi dasar dari DUHAM.
DUHAM
memiliki 30 pasal, dinyatakan bahwa setiap manusia berhak atas kehidupan yang
bebas dan merdeka dengan martabat yang sama (pasal 1) dan setiap manusia,
tanpa terkecuali, berhak atas setiap hak dan kebebasan yang terdapat dalam
deklarasi ini (pasal 2). Setiap manusia juga berhak mendapat
keselamatan dan kebebasan atas kehidupannya (pasal 3), sehingga tidak
seorang manusia boleh di perbudak (pasal 4) dan di siksa atau diperlakukan
tidak manusiawi (pasal 5).
DUHAM juga menjabarkan hak-hak
seseorang dalam menghadapi isu-isu hukum dan peradilan. Setiap orang
berhak mendapatkan pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum (pasal
6), berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi (pasal 7), dan
pemulihan yang efektif dari proses pengadilan (pasal 8). Dilarang untuk
menahan, menangkap, dan mengasingkan siapapun dengan sewanang-wenang.
Dan setiap orang juga mempunyai persamaan yang penuh atas peradilan yang
dipastikan adil, terbuka, dan tidak semena-mena dipersalahkan (pasal
10&11).
Dalam hal kehidupan bernegara dan
sehari-hari, dikatakan bahwa mengganggu urusan pribadi dan mencemarkan nama
baik merupakan hal yang dilarang (pasal 12). Setiap manusia juga berhak
berpindah di setiap negara, baik ke dalam maupun keluar (pasal 13),
mendapatkan suaka di negeri lain (pasal 14), mendapatkan kewarganaegaraan
(pasal 15), serta hak untuk menikah dan berkeluarga (pasal 16). Setiap
individu juga dapat memiliki harta dan berhak untuk tidak dirampas hartanya
(pasal 17). Dalam kehidupannya seseorang juga berhak atas kebebasan
berpikir, hati nurani dan agama (pasal 18), keb0ebasan berpendapat, berkumpul
dan berserikat (pasal 19&20), dan berhak turut serta dalam pemerintahan
negaranya (pasal 21). Sebagai warga negara, setiap manusia juga berhak
atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi,sosial, dan
budaya (pasal 22), kebebasan memilih pekerjaan, pengupahan yang adil,
istirahat dan liburan (pasal 23,24). Setiap orang juga berhak atas tingkat
hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan
keluarganya (pasal 25), dan juga memperoleh pendidikan yang layak (pasal 26).
DUHAM juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk ikut serta dalam kebudayaan suatu masyarakat dengan bebas
(pasal 27), berhak untuk ikut berpartisipasi dalam tatanan sosial dan
internasional (pasal 28), dan berhak atas hak dan kewajiban serta tunduk atas
hukum demokratis dalam masyarakat tersebut (pasal 29).
Pasal yang terakhir menegaskan
tidak satupun dari pasal pada dekrasi ini yang dapat memberikan suatu negara,
kelompok, atau individu, hak untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan
tindakan yang bertujuan untuk merusak hak-hak kebebasan yang telah dituangkan
dalam deklarasi ini. Oleh karena ini deklarasi ini telah mencakup
sebagian besar aspek yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
Meskipun masih ada kekurangan didalamnya, seperti mengenai hukuman mati,
namun DUHAM sudah merupakan pijakan yang baik untuk menciptakan dunia dan
masyarakat yang sadar akan akan HAM.
Analisis Pasal 285 KUHP dalam
Perspektif Hukum Kritis
Teori atau
studi hukum kritis menghendaki pembaharuan terhadap hukum positif yang
dinilai ortodoks, kuno, dan formalistik dengan pendekatan yang lebih kritis.
Studi hukum kritis memandang bahwa hukum positif yang berlaku tidak selamanya
sesuai karena masyarakat terus berkembang dan hukum positif akan ketinggalan
dengan fenomena itu.
Salah satu peraturan dalam hukum positif yang dapat dianalisis dari sudut pandang teori hukum kritis adalah pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Dalam pasal ini perkosaan dirumuskan sebagai tindakan “… dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia…”. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasa; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya. Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina), bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri (marital rape) atau bagaimana jika korban perkosaan itu adalah laki-laki? tentunya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh hukum positif. Jika para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap menggunakan hukum positif dan logika formal (pasal 285 KUHP) an sich dalam kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur pasal 285 KUHP. Beberapa kelemahan yang terdapat dalam KUHP tersebut sangat wajar mengingat usia KUHP saat ini lebih dari 60 tahun.
Dengan demikian,
menurut studi hukum kritis penerapan pasal 285 KUHP secara an-sich oleh
aparat penegak hukum harus sudah mulai ditinggalkan. Artinya, aparat penegak
hukum harus membuka wacananya bahwa kejahatan perkosaan terus berkembang
sehingga tidak hanya menerapkan hukum secara tekstual menggunakan logika
formal, tetapi juga kontekstual menggunakan nalar dan hati nurani sebagai
pisau alanisis dalam menyelesaikan perkara hukum.
Di Indonesia,
praktek penggunaan analisis hukum kritis ini bukan barang baru, hal ini sudah
diperkenalkan oleh Bismar Siregar, seorang Hakim yang sangat hebat di era
tahun 1980-an yang berani menggunakan nalar pikirnya melampaui hukum positif
yang ada pada waktu itu. Meskipun pada akhirnya putusannya dimentahkan oleh
pengadilan yang lebih tinggi, namun dari situ dapat dilihat bahwa kelemahan
hukum positif adalah tidak mampu menjangkau perkembangan kehidupan manusia
yang sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan kritik dan pembaharuan
terhadap hukum secara terus menerus.
KUHP sebagai
landasan hukum positif dalam bidang kepidanaan harus segera diperbahui mengingat
usianya yang sudah ‘tua’ dan sudah tidak dapat mengikuti perkembangan dunia
kriminalitas yang semakin pesat dan canggih. Penerapan kajian hukum kritis
terhadap hukum positif harus ditingkatkan, khususnya oleh aparat penegak
hukum. Karena saat ini hakim dan penegak hukum lainnya tidak lagi hanya
sebagai corong undang-undang, tetapi juga harus kritis dalam menerapkan hukum
agar tercipta keadilan dalam masyarakat.
UU No 36/2009
mengakomodasi dan memasukkan isu antara lain paradigma sehat, yaitu pendekatan
promotif dan preventif; pengakuan terhadap isu kesehatan reproduksi (bagian
VI Pasal 71 sampai Pasal 77; aborsi yang diperluas untuk korban pemerkosaan,
aborsi dibolehkan dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling
(Pasal 75 Ayat 2 dan 3); pembiayaan kesehatan, yakni 5 persen dari APBN, 10
dari APBD dan dua pertiga untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171)
sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah,
UU juga
mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengharuskan pemerintah dan masyarakat
menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung (Pasal 128); kesehatan remaja
dan lanjut usia; serta hak mendapat informasi dan perlindungan kesehatan (Bab
XIV). Diakomodasinya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta
hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting
diterimanya perspektif perempuan dalam UU ini.
|
TUGAS HUKUM FORENSIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar