Senin, 17 Desember 2012

PERJANJIAN INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Setiap negara memiliki panduan/aturan dalam melaksanakan penerbangannya. Hal ini dimaksudkan untuk membantu baik bagi pilot dalam membawa pesawatnya maupun operator penerbangan dalam melayani suatu penerbangan. Panduan/aturan penerbangan tersebut terdapat dalam AIP yang dimiliki oleh setiap bandar udara baik sipil maupun militer.
Namun prosedur terhadap pesawat sipil dan militer tentunya ada beberapa hal khusus yang berbeda berkaitan dengan fungsi dan tugas dari pesawat tersebut yaitu untuk pesawat sipil berfungsi sebagai pengangkut massal atau cargo dan pesawat militer khususnya pesawat tempur berfungsi sebagai alat keamanan negara dalam menangani gangguan keamanan di udara untuk menjaga kedaulatan negara.
Berdasarkan topik yang penulis sampaikan dalam tulisan ini yaitu mengenai interception of civil aircraft, pesawat militer mempunyai prosedur khusus dalam penanganannya yang melibatkan pesawat sipil.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas tentunya harus ada kesamaan prosedur antara sipil dan militer tentang interception of civil aircraft sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan tanpa adanya kesalahpahaman antara sipil dan militer.
Penegakkan hukum adalah merupakan bagian dari upaya pertahankan kedaulatan negara. Sebagai negara yang berdaulat, pemerintah Indonesia menetapkan seperangkat aturan hukum untuk mengatur, mengendalikan dan menegakkan hukum di wilayah udara yang berada dibawah yuridiksi Indonesia.
Dalam penetapan perangkat hukum tersebut selain berpedoman pada kepentingan nasional bangsa Indonesia, juga memperhatikan kaidah yang diatur dalam hukum internasional.
Institusi yang berwenang sebagai penegak kedaulatan udara adalah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Hal itu tertuang dalam Undang-Undang no. 20 tahun 1982 tentang pokok-pokok pertahanan dan keamanan (hankam), pada pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa TNI-AU bertugas selalu penegak kedaulatan di udara dan mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional.
Tugas TNI-AU selain menangkal gangguan hankam juga mencegah dan menegakkan kedaulatan udara dalam arti menjaga dan mempertahankan agar diseluruh wilayah udara Indoensia tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan kepentingan nasional negara RI.
Dalam penulisan makalah ini akan dibahas sebuah kasus yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu mengenai peristiwa Bawean dimana Pada 3 Juli lalu, lima jet tempur F-18 Hornet milik Angkatan Udara AS melakukan manuver di atas perairan Pulau Bawean, Jawa Timur, dan dua pesawat F-16 milik TNI-AU kemudian dikerahkan dari Lanud Iswahyudi, Madiun, untuk mengidentifikasi keberadaan kelima pesawat AS itu. Keberadaan lima F-18 Hornet saat itu dipergoki oleh sebuah pesawat penumpang yang tengah melintas di Bawean pada saat yang sama, yang kemudian melaporkannya kepada menara radar di Surabaya dan Jakarta.


B.     Rumusan Masalah
Bagaimana seharusnya sikap TNI-Angkatan Udara Indonesia dalam menangani pelanggaran kedaulan yang dilakukan oleh pesawat Amerika tersebut?















BAB II
PEMBAHASAN
A.    TNI-Angkatan Udara dalam upaya penegakan kedaulatan wilayah udara RI
TNI-Angkatan Udara dalam upaya penegakan kedaulatan wilayah udara RI implementasinya mengacu pada peraturan-peraturan Hukum Nasional dan Internasional.
a. Pengamatan (Observation) dan pengintaian (Surveillance).
Dalam melaksanakan pengamatan maupun pengintaian perlu memperhatikan kententuan-ketentuan hukum nasional maupun internasional.
b Tindakan pengintaian dengan menggunakan pesawat udara dimana pengintaian tersebut dilakukan sewaktu terbang melintas di wilayah udara nasional negara lain merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum terhadap negara lain yang dilintasi tersebut.
c. Tindakan pengintaian dari udara yang dilakukan dari luar wilayah kedaulatan suatu negara yang diamati, bukan merupakan bentuk pelanggaraan, demikian pula pengintaian melalui satelit melalui ruang angkasa
Terhadap pesawat udara tersebut tidak bisa dilakukan suatu tindakan tertentu namun apabila pesawat pengintai telah melakukan suatu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai ‘niat permusuhan’ (Hostile Intent) maka dapat dilakukan tindakan tertentu sesuai dengan hukum dan prosedur berlaku.
TNI-Angkatan Udara dapat melakukan pengamatan terhadap kapal perang maupun pesawat udara asing yang mencurigakan.
b. Terhadap kapal perang asing di wilayah ZEE dan laut bebas:
Pembayangan dapat dibenarkan apabila ada alasan yang kuat yang berkaitan dengan keamanan nasional (National Security)
Adapun prosedur pembayangan (shadowing) dilakukan dengan cara sebagaimana pembayangan terhadap kapal asing yang sedang melakukan pelayaran lintas damai di perairan nasional.
c. Terhadap pesawat militer asing.
Pembayangan terhadap pesawat udara militer asing, baik yang lewat di ruang udara nasional, diatas ZEE maupun di laut bebas, diperbolehkan apabila ada alasan-alasan yang berkaitan dengan Keamanan Nasional (National Security), dengan cara pembayarang (shadowing) dalam jarak yang tidak membahayakan keselamatan penerbangan masing-masing pesawat, serta tidak melakukan gerakan (manuver) yang bisa ditafsirkan sebagai simulation to attack.
B.     Terkait dengan Contoh Kasus
Pada 3 Juli lalu, lima jet tempur F-18 Hornet milik Angkatan Udara AS melakukan manuver di atas perairan Pulau Bawean, Jawa Timur, dan dua pesawat F-16 milik TNI-AU kemudian dikerahkan dari Lanud Iswahyudi, Madiun, untuk mengidentifikasi keberadaan kelima pesawat AS itu. Keberadaan lima F-18 Hornet saat itu dipergoki oleh sebuah pesawat penumpang yang tengah melintas di Bawean pada saat yang sama, yang kemudian melaporkannya kepada menara radar di Surabaya dan Jakarta. Sebagai protes, pemerintah Indonesia menyusun nota diplomatik kepada AS atas terjadinya manuver lima jet tempur F-18 itu. Sementara itu, untuk memantapkan operasi pertahanan terhadap ancaman kekuatan udara pihak asing di wilayah Indonesia, Kohanudnassetiap tahun melaksanakan latihan gabungan, yang melibatkan seluruh kekuatan dalam jajaran Komando Sektor (Kosek) Hanudnas baik dari unsur-unsur TNI-AU maupun angkatan darat, angkatan laut dan penerbangan sipil. Kosekhanudnas itu sendiri memiliki berbagai unsur, termasuk satuan radar, operasi pesawat sergap tempur, peluru kendali, dan KRI dengan keampuan pertahanan udara, seprti KRI Fatahillah, KRI Ki Hajar Dewantoro dan KRI Teluk Nala. Pada Rabu sore di Dumai, Pangkohanudnas Marsekal Muda Wresniwiro, menutup latihan gabungan TNI Hanudnas Tutuka XXVII, yang tahun ini menggabungkan latihan dua komando sektor (Kosek) dibawah Kohanudnas, yaitu Kosek I (Halim Perdana Kusuma) dan Kosek III(Medan). Kohanudnas saat ini membawahi tiga Kosek, yaitu Halim Perdana Kusuma, Makassar, dan Medan. Menurut rencana, Kohanudnas akan membentuk satu lagi Kosek, yaitu Kosek IV di Biak, Papua. Latihan gabungan Hanudnas Tutuka XXVII, juga mencakup pelatihan pertahanan udara bagi obyek-obyek vital, seperti Unit Pengolahan Pertamina II di Dumai dan Unit Pengolahan IV di Cilacap.

C. Tindakan pesawat militer RI terhadap ancaman dari udara sebagai berikut :
a.       Pelanggaran wilayah udara (Aerial Intrusion).
Pesawat terbang asing yang memasuki wilayah udara nasional tanpa ijin disebut sebagai pelanggaran wilayah udara.
Masuknya pesawat udara asing ke wilayah udara nasional tanpa ijin, ada yang disengaja misalnya penerbangan gelap (black flight) untuk maksud-maksud tertentu dan ada pula yang tidak disengaja misalnya tersesat (aircraft in distress).
Pesawat udara militer RI dapat mengambil tindakan tertentu terhadap pesawat udara asing yang melakukan aerial intrusion. Berat atau ringannya tindakan yang akan dilakukan oleh pesawat militer RI tergantung dari prediksi (ramalan) ancaman yang mungkin timbul.
Apabila pelanggaran wilayah udara ini dilakukan oleh pesawat udara sipil, maka tindakan hukum atau intersepsi harus mengacu pada Konvensi Chicago 1944, terutama Article 3 bis.
Apabila pesawat udara pada memasuki wilayah udara nasional Indonesia dalam keadaan tersesat (in distress). Penanganannya didasarkan pada Konvensi Chicago 1944 Article 25 antara lain berupa tindakan reaksi yang dilakukan berdasarkan prosedur operasi yang ditetapkan oleh TNI.
Tahap awal adalah dengan cara “Shadowing” yang merupakan upaya untuk indentifikasi. Dalam fase ini ada kemungkinan untuk menggiring/mengalau pesawat udara musuh (hostile aircraft) untuk keluar dari wilayah RI. Alternatif lain dapat dilakukan intersepsi dan diperintahkan “Force Down” untuk kepentingan investigasi dan proses hukum.
Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak dipatuhi oleh pesawat asing tersebut, bahkan justru menunjukkan sikap permusuhan (Hostile Act), tahap akhir dapat dilakukan penghancurann dengan persenjataan.
Sedangkan apabila  pesawat udara negara melanggar wilayah kedaulatan negara lain tidak boleh dipaksa untuk mendarat dan ditahan seperti pesawat udara sipil sebagaimana diatur di dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944, melainkan hanya diusir dan ditindak lanjuti protes melalui saluran diplomatik sebagaimana diatur di dalam Konvensi Wina 1961.

b.      Terhadap Bentuk-Bentuk Ancaman Permusuhan.
Bentuk-bentuk ancaman permusuhan oleh negara lain terhadap negara RI adalah kegiatan yang dapat menjurus pada ancaman bagi kedaulatan negara RI.
Ancaman terhadap kedaulatan negara RI tersebut dapat dilakukan oleh pesawat udara asing, baik yang melakukan penerbangan di wilayah yurisdiksi nasional RI maupun diatas wilayah udara bebas (International Air Space).
Kegiatan pesawat udara asing yang mengancam kedaulatan RI dapat dikategorikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu: niat permusuhan (Hostile Intent) dan tindakan permusuhan (Hostile Act).
Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai niat permusuhan dari wilayah udara adalah sebagai berikut:
1) Pengamatan dan gangguan yang dilakukan didekat wilayah udara nasional;
2) Pengamatan obyek-obyek vital RI baik yang ada diwilayah teritorial, ZEE dan landas kontinen.
3) Pembayangan (shadowing) terhadap pesawat militer atau kapal perang RI dalam jarak dekat yang tidak memenuhi kentuan “Idetification Safety Range” (ISR);
4) Pelanggaran ketentuan lalu lintas udara di kawasan yang menjadi tanggung jawab RI.
5) Pelanggaran dikawasan Air Defence Indentification Zone (ADIZ) yang didirikan oleh negara RI;
6) Pelanggaran wilayah udara yang disengaja (Black Flight).
Terhadap pesawat udara yang dikategorikan sebagai hostile intent, tindakan alternatif yang dapat dilakukan oleh pesawat militer RI adalah:
a. Melakukan pengamatan (obsevasi) secara visual dengan pesawat udara atau secara eletronika;
b. Melakukan pembayangan apabila pesawat udara asing tersebut penerbangannya menyimpang dari jalur yang sudah ditetapkan dan atau selama diatas wilayah yurisdiksi RI penerbangannya mencurigakan. Shadowing tersebut hanya dapat dilakukan sampai batas ZEE RI.
c. Melakukan penghalauan.
Penghalauan ini dilakukan terhadap pesawat udara sipil/militer yang memasuki wilayah udara RI tanpa ijin, dan atau penerbangnnya telah mengganggu keselamatan obyek-obyek vital RI yang berada dibawahnya;
d.      Pemaksaan mendarat.
Terhadap pesawat udara sipil/militer asing yang memasuki wialyah udara nasional RI tanpa ijin, namun masih dalam kategori hostile intent, dalam pengertian pesawat udara asing tesebut tidak mengganggu obyek-obyek vital RI, maka pesawat udara tersebut dapat dipaksa untuk mendarat. Kemudian dilakukan investigasi, dilanjutkan penyelidikan untuk proses hukum selanjutnya.
Penembakan atau penghancuran terhadap pesawat itu tidak boleh dilakukan apabila belum terbukti secara kuat melanggar kedaulatan RI.
Alternatif mana yang akan diambil oleh pesawat militer RI tergantung dengan pertimbangan dan prediksi terhadap dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh pesawat asing yang dikategorikan hostile intent tersebut.
Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai tindakan permusuhan (hostile act) adalah tindakan yang menggunakan kekuatan dan atau menggunakan sistem senjata yang nyata-nyata mengancam atau melakukan penyerangan langsung terhadap obyek-obyek yang berada dibawah yurisdiksi RI. Tindakan semacam itu tentunya dilakukan oleh bukan pesawat udara sipil biasa.
Sesuai dengan hak untuk mempertahakan diri (the right of self-deference), pihak asing itu (baik oleh pesawat udara militer maupun kapal perang asing), dapat dilakukan perlawanan dan penghancuran.
Hot pursuit merupakan suatu modus dalam penegakkan hukum. Istilah ini didapati dalam UNCLOS III Article 111. Modus ini mulanya dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut terhadap kapal perang asing. Namun demikian dalam upaya pertahanan wilayah udara maka hot pursuit dapat dilakukan oleh pesawat-pesawat udara militer. Menurut UNCLOS III Article 111, yang dapat melakukan hot pursuit adalah; kapal perang dan atau pesawat udara militer, atau kapal dan pesawat udara yang secara jelas oleh pemerintah dimana kapal/ pesawat itu terdaftar diberi tanda-tanda khusus sebagai kapal/pesawat udara dalam Dinas Pemerintah (Government Services) yang memiliki wewenang untuk melakukan hot pursuit.
Pesawat Udara Negara (state aircraft) RI selaku alat pertahanan dan keamanan negara (hankam) dapat melakukan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara maupun di wilayah perairan. Tindakan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara mupun di wilayah perairan.
Tindakan hot pursuit pesawat udara asing telah melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan hak-hak negara RI, termasuk hak-hak negara RI, termasuk hak-hak di wilayah yurisdiksi yaitu di zona-zona laut dan udara. Hot pursuit itu, sesuai dengan hukum internasional dapat dilakukan dari laut teritorial hingga ke laut bebas (hight sea). Hot pursuit harus diberhentikan segera apabila kapal laut asing yang dikejar itu telah memasuki wilayah teritorial negaranya sendiri, atau telah memasuki laut teritorial negara ketiga.
Kiranya tindakan pengejaran (hot pursuit) oleh pesawat militer RI terhadap pesawat udara asing yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan kedaulatan RI dapat dilakukan mencapai batas-batas wilayah udara sebagaimanan batas-batas yang diperkenankan terhadap kapal laut asing.
Sebagai perwujudan penegakan kedaulatan di udara, maka setiap oknum yang melakuan pelanggaran atau tidak kejahatan di wilayah yuridiksi suatu negera, diberikan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku di negara dimana pelanggaran itu dilakukan.
Bagi negara RI prosedur pemberian sanksi, jika menyangkut perbuatan pidana akan diproses sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu UU No. 8 tahun 1981 dengan sanksi pidana atau denda tertentu. Sedangkan jika menyangkut persoalan perdata akan diselesaikan dengan Hukum Acara Perdata, dengan pembebanan ganti rugi (Liability) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.





BAB III
PENUTUP
Menurut hukum internasional, suatu negara dapat melakukan tindakan hukum dengan alasan “the Right of Self-Defence”, apabila:
a. Teritorialnya, kapal atau pesawat udara berkebangsaan dari negaranya berada dalam ancaman atau diserang:
b. Tindakan terpaksa diambil karena situasi diambil karena situasi sedemikian rupa sehingga tidak ada tindakan alternatif.
c. Tindakan yang diambil tidaklah berlebihan (disproporsional) dibanding dengan ancaman/bahaya yang dihadapi.
Disamping itu ada beberapa justifikasi yang lain, meskipun justifikasi berikut ini kurang kuat, yaitu:
a. Tindakan antisipasi sebagai pertahanan diri terhadap teroris
b. Tindakan balasan disebabkan karena kondisi yang tidak memuaskan atas negara lain yang telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban internasional;
c. Intersepsi atau pengalihan arah terhadap pesawat udara yang leintas di wilayah ADIZ disebabkan pesawat tersebut tidak menunjukkan indentitasnya;
d. Pengejaran (hot pursuit) terhadap pesawat udara yang melarikan diri dari wilayah yurisdiksinya;
e. Tindakan yang dipandang perlu untuk mencegah pembajakan
f. Diwilayah internasional yang secara temporer sedang ditetapkan sebagai zona militer, misalnya sedang untuk latihan perang atau uji coba senjata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar