Rabu, 17 April 2013

bentuk bentuk penderitaan


1.  Pendahuluan
Mata kuliah Ilmu Budaya Dasar merupakan matakuliah wajib bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana khususnya dan Fakultas lain pada umumnya. Paper Ilmu Budaya Dasar merupakan salah satu Tugas atau prasyarat dalam menempuh Matakuliah Ilmu Budaya Dasar. Sebagai tugas kedua, kami kelompok 2 mendapat Tugas menulis Paper dengan judul Bentuk-bentuk Penderitaan dan Cara mengatasi penderitaan.

Dan paper ini akan di presentasikan di kelas dengan bimbingan Dosen Matakuliah Ilmu Budaya Dasar yaitu Ibu Siti Masito, SH, MH. Atau dipanggil Ibu Iit. Kami telah menyusun paper ini dengan bekerjasama dan saling mengisi satu sama lain, sehingga paper ini dapat tersusun dengan baik. Paper ini terdiri dari Pendahuluan, Bahasan Materi Kuliah Ilmu Budaya Dasar, Contoh kasus, pembahasan Studi kasus, kesimpulan, penutup.

Kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dosen Matakuliah Ilmu Budaya Dasar yaitu Ibu Siti Masito, SH, MH. yang telah membimbing kami, dan juga kepada teman2 kelompok 2 yang telah memberi masukan sehingga paper ini dapat tersusun dengan baik.

2. Materi Matakuliah Ilmu Budaya Dasar
    Bentuk-bentuk Penderitaan dan Cara mengatasi penderitaan

Bentuk dari penderitaan, dapat berupa penderitaan lahir/fisik maupun penderitaan bathin/psikis. Dalam kedua penderitaan tersebut dapat saling mempengaruhi, yaitu suatu penderitaan fisik dapat menyebabkan penderitaan psikis, misalnya:
·         seseorang yang menderita sakit parah dan sulit untuk disembuhkan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan atau mengalami stress. Sebaliknya, seseorang yang sedang mengalami kesedihan yang mendalam, misalnya karena ditinggal mati orang yang sangat dicintainya, atau ketakutan yang sangat, misalnya phobia tertentu, dapat mengalami gangguan kesehatan fisik.
Dalam menerima suatu penderitaan adalah subyektif bagi tiap individu. Hal ini tergantung pada tinggi rendahnya toleransi individual, sehingga mengandung gradasi dalam penghayatannya.
Hal-hal yang dapat membuat seseorang menderita antara lain adalah siksaan dan kekalutan mental. Bentuk-bentuk siksaan secara psikis adalah kebimbangan, kesepian dan ketakutan. Kebimbangan dialami seseorang bila ia pada suatu saat tidak dapat menentukan pilihan mana yang akan diambil. Kesepian adalah suatu rasa sepi dalam dirinya atau jiwanya walaupun ia di lingkungan yang ramai. Ketakutan merupakan bentuk lain yang dapat menyebabkan seseorang mengalami siksaan bathin. Bila rasa takut itu dibesar-besarkan dengan tidak pada tempatnya, disebut sebagai phobia. Bentuk-bentuk phobia antara lain, claustrophobia (di ruang tertutup), agora phobia (di tempat terbuka), gamang (di tempat tinggi), kegelapan, kesakitan, kegagalan, dll.
Kekalutan mental merupakan gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah secara kurang wajar. Hal ini dapat terjadi karena seseorang mempunyai kepribadian yang lemah, terjadinya konflik sosial budaya, atau cara pematangan bathin (pendewasaan) yang salah dengan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kehidupan sosial (a.i. over acting, over compensate, emotional, under acting). Penderita kekalutan mental banyak terdapat di kota-kota besar, anak-anak muda, wanita, orang yang tidak beragama, orang yang terlalu mengejar materi/kekuasaan.
Apabila seseorang mengalami kekalutan mental ada yang memberikan reaksi secara positif dan ada yang negatif. Untuk yang positif adalah “dijawab” secara baik untuk dapat tetap survive, sedangkan yang negatif adalah menjadi frustrasi. Untuk dapat menghindarkan diri dari frustrasi antara lain dapat dilakukan dengan memelihara kebersihan jiwa, melatih berfikir dan berbuat wajar, berani mengatasi kesulitan, dan berkomunikasi.
Akhirnya, secara umum manusia ingin bebas dari penderitaan, karena itu selalu berupaya untuk “melepaskan diri” dari keadaan-keadaan yang memberikan pengalaman tersebut, dalam bentuk-bentuk:
a.       Perilaku nyata, yaitu menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan-keadaan yang disadari dapat memberi pengalaman tersebut (mengandung antisipasi);
b.       “Mencairkan” makna penderitaan, meyakini bahwa setiap pengalaman yang tidak dikehendaki memuat hikmah tertentu. Yang dimaksud di sini adalah penderitaan diterima sebagai kenyataan tetapi diperkecil nilai bebannya, atau diterima sebagai kenyataan tetapi ditafsirkan sebagai sesuatu yang bemilai di kemudian hari.
c.       Menolak kenyataan sebagai mekanisme pertahanan diri (defence mechanism; escape mechanism)









Studi Kasus


KUALA LUMPUR (SI) – Kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri kembali terjadi. Kali ini, Siti Hajar, pembantu rumah tangga asal Garut, Jawa Barat, disiksa dan tidak dibayar selama 34 bulan oleh majikannya di Malaysia.
”Menurut pengakuan Siti Hajar,dia selalu disiksa,disiram air panas,dipukul dengan benda keras hingga mengalami luka parah,”ujar Duta Besar RI untuk Malaysia Da`i Bachtiar dalam jumpa pers di Kuala Lumpur,Malaysia,Senin (8/6) sore. Da`i menjelaskan penyiksaan itu kepada pers setelah majikan Siti Hajar, Hau Yuang Tyng atau biasa dipanggil Michelle, diserahkan ke polisi Malaysia untuk diperiksa dan diproses secara hukum.
Adapun Siti Hajar kemudian dibawa ke Rumah Sakit Universitas Malaya untuk menjalani visum. Siti Hajar, warga Desa Limbangan Barat, Garut, Jawa Barat, mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga sejak 2 Juli 2006. Di majikan pertama, dia hanya bekerja lima hari. Dengan majikan kedua,Michelle,dia sudah bekerja selama 34 bulan. Selama kurun tersebut, Siti Hajar tidak pernah menerima gaji yang besarnya mencapai 500 ringgit per bulan.
”Sejak awal Siti Hajar sering disiksa, tapi makin lama siksaannya makin keterlaluan sehingga korban mengalami luka parah,”kata Da’i. Minggu (7/6) malam, Siti Hajar berhasil kabur dari rumah majikannya dan naik taksi menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Oleh sopir taksi, korban diberi uang 10 ringgit. ”Kami mengucapkan terima kasih kepada sopir taksi tersebut,” kata Da`i.
KBRI kemudian melakukan advokasi ke Siti Hajar sejak Senin (8/6) pagi pukul 08.30 waktu setempat. Setelah mendengarkan keterangan Siti Hajar, KBRI kemudian memanggil Michelle yang kemudian datang ke KBRI sekitar pukul 11.00 waktu Malaysia. ”Di KBRI, Michelle mengakui semua tindakan penyiksaan seperti yang diceritakan Siti Hajar. Dia juga menangis meraung-raung sambil memohon maaf kepada Siti Hajar,”kata Da`i. Majikan Siti Hajar mengakui dirinya orang yang temperamental dan cepat marah. Michelle mengaku menjadi orangtua tunggal dengan dua anak.
Dia bersedia membayar gaji Siti Hajar selama 34 bulan yang mencapai 17.000 ringgit. ”Kami menuntut majikan agar membayar gajinya sebesar 17.000 ringgit dan juga menuntut agar kasus ini dibawa ke pengadilan,” kata Da`i. Di Jakarta, Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah mengungkapkan, majikan Siti Hajar,Michelle, telah diserahkan ke polisi Malaysia untuk diperiksa dan diproses berdasarkan hukum.
”Sudah dalam laporan polisi sehingga kita hormati saja kasus hukumnya,” ujarnya ketika dihubungi harian Seputar Indonesia (SI) tadi malam. Menurut Jumhur, demi memastikan dan mendapatkan informasi lebih lengkap terhadap kasus ini, dia akan bertolak ke Malaysia pada Jumat (12/6) untuk menemui Siti Hajar dan Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaysia. ”Kita juga ingin memastikan agar perbaikan perlindungan terhadap TKI ke depan bisa lebih baik lagi,” tuturnya. Berdasar penelusuran BNP2TKI,ujar Jumhur, Siti Hajar masuk ke Malaysia pada 2003 melalui perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) resmi.
Paman Siti Hajar, Uti Sutisna, 56,saat ditemui wartawan di rumahnya di Garut, kemarin, menuturkan, kabar penyiksaan terhadap Siti Hajar sangat mengejutkan keluarga. Pasalnya, sejak diberangkatkan oleh PT Mangga Dua Mahkota ke Malaysia pada 28 April 2006 lalu, Siti Hajar tak pernah memberi kabar.Tiba-tiba pihak keluarga mendapat kabar dari Polres Garut dan Polsek Limbangan pada Senin (8/7) malam sekitar pukul 22.30 WIB bahwa Siti Hajar disiksa majikannya.
Pihak keluarga kemudian melakukan kontak via telepon dengan KBRI di Kuala Lumpur. Dalam perbincangan itu,KBRI menyatakan, Siti Hajar saat ini sedang dirawat di rumah sakit. ”Awalnya keluarga tidak percaya atas kabar tersebut.Namun setelah melibat tayangan televisi, barulah percaya dan Pak Da’i (Da’i Bachtiar) meminta keluarga agar jangan panik karena pihak KBRI akan mengurus semuanya,” ujar Uti.
”Jangankan mengirim uang untuk menghidupi kedua anaknya,mengirim surat pun tak pernah,”katanya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut mendesak pemerintah untuk memperjuangkan nasib Siti Hajar di Malaysia. “Ini saatnya pemerintah membuktikan tugasnya dalam melindungi warga negara,”ujar Wakil Ketua Komisi A DPRD Garut Ahab Sihabudin.
(NST/The Star/ant/ andika hm/ rendra hanggara/ dede ibin muhibbin)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/245806/38/
Diposkan oleh Andika Hendra Mustaqim di 02.20

Analisis Kasus
Kasus Siti Hajar bukanlah kasus yang pertama dialami buruh migran Indonesia. Sudah sangat banyak yang mengalaminya.  Kasus-kasus kekerasan terhadap buruh migran kami kira sudah menjadi sebuah luka yang amat sangat menyakitkan, sehingga harus diselesaikan secara sistematis. Yang paling mungkin kita lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah melalui peraturan. Sekalipun legalistis, upaya ini bisa menjadi rujukan bahwa kita memang memiliki aturan mengenai masalah ini, dan ini bisa menjadi titik awal mengatasi persoalan tersebut. Kita harus menyadari bahwa ini merupakan kasus yang direproduksi terus menerus sehingga upaya penanganannya tidak bisa secara kasuistik tetapi melalui pengaturan yang sistematik, mendorong peraturan-peraturan baik di tingkat lokal dan nasional untuk mengatur buruh migran.

Harusnya ada pendidikan yang sistematis bagi para calon tenaga kerja migran, misalnya tentang hak dan kewajiban mereka, keterampilan yang harus dimiliki dan sebagainya. Masalah ini menurut saya harus diatur, karena tidak ada satu kegiatan pendidikan pun yang dilakukan secara sistematis bagi mereka.  Harus ada pengaturan standar agar tidak terjadi eksploitasi. Yang kita hindari adalah perbudakan dan pelecehan seksual. Harus juga menyeimbangkan dengan situasi ekonomi di negara kita, disesuaikan dengan penghasilan majikan, misalnya. PRT memang belum banyak dibicarakan hak-hak dasarnya. Misalnya saja, pada saat pra keberangkatan, hak-hak dasar mereka belum diangkat. Mereka punya hak-hak dan kerentanan yang spesifik, misalnya pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi, dll, dan hal ini harus diangkat agar tidak terjadi perbudakan PRT mengingat mereka bekerja di ranah privat. Terakhir, sebagai catatan, situasi ekonomi keluarga yang memperkerjakan mereka juga harus dipertimbangkan.

Kesimpulan
. Melihat kasus-kasus TKW di Malaysia selama ini, para pakar hukum indonesia menghimbau kepada semua pihak yang berwenang supaya turun tangan dan dengan kedua tangan terbuka marilah kita menanggapi masalah ini dengan serius, bijaksana dan tegas. Seharusnya pihak pemerintah Kerajaan Malaysia memfasilitasi peraturan perundangan bidang Tenaga Kerja ini dengan peraturan yang lebih spesifik, yakni bahwa TKW muslim seharusnya  bekerja pada (majikan) muslim, supaya hak-hak religi dan sosial TKW muslim dapat terjamin pelaksanannya dengan baik, seperti shalat, makanan halal dan dan begitu juga para tenaga kerja yang memeluk keyakinan lain.

Selain itu, pihak pemerintah Indonesia juga harus secara intensif melakukan pengawasan melalui KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Malaysia. Seberapa jauh pelaksanaan pengawasan TKW oleh  KBRI  perlu dikaji   secara mendalam guna kepentingan perlindungan TKW tercinta kita, jangan sampai hanya "devisa diharap, luka melarat didapat". Kita perlu menegakkan hukum, laksanakan UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan konsekwen dan adil.

Penutup
Demikian paper kelompok 2 kami persembahkan, apabila ada hal yang perlu didiskusikan mohon bimbingan Ibu dosen yang kami hormati.
Terima kasih…..

 
MATA KULIAH : ILMU BUDAYA DASAR
TUGAS 2
BENTUK-BENTUK PENDERITAAN DAN CARA MENGATASI NYA


Kelompok 2

Nama :       1. Tri Cahyo Wibowo        (1233 001 190)
                  2. Puput Santika                (1233.001 189)
                  3. Heri S Umbara              (1233 001 185)
                  4. Hilman Anggriawan      (1233 001 194)
                  5. Andro Setiawan             (1233 001 200)
                  6.  Tomson Pargaulan S     (1233 001 191)
                  7. Ita Novita Arianti          (1233 001 186)
                  8.  Ulfa Siska D                  (1233 001 187)
                  9.  Dwi Rahayu W              (1233 001 195)
                  10. Dwi Apriliannisa R      (1233 001 183)

KELAS 202
13 APRIL 2013

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JL. RAYA JATIWARINGIN PODOK GEDE JAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar