Pendahuluan
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang
tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem
pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman
atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD
1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan
di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan
KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai
lembaga ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria
mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama
lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan
yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau
bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya
tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu
diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Setiap profesi di berbagai bidang
memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia,
di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku
di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai
pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata
tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI
tanggal 5-7 April 1965. Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal
seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
terus berlangsung. Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman
Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku
Hakim yang disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari
ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang
tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa
suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik
harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik
tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di
luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya,
sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan
menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur
perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai
bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa
keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari
keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh
keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik
bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani
perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan
tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya
mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian
besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan
sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan
wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi
peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan
peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan
yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini
untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya
badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan,
dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan
perundang-undangan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan
wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah
tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama
ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga
pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut.
Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain:
1. kualitas dan integritas pengawas
yang tidak memadai;
2. proses pemeriksaan disiplin yang
tidak transparan;
3. belum adanya kemudahan bagi
masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta
hasilnya (ketiadaan akses);
4. semangat membela sesama korps
(esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan
perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan
mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi
yang buruk itu; dan
5. tidak terdapat kehendak yang kuat
dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
Hal-hal yang diuraikan di atas
menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan
pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela
sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh
dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal
terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan
pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan" dari
pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena
itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan
eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
Pembahasan
A. Profesi Hakim dan
Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang
berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP
menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal
dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan
yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa
nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam
menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi
manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai
berikut.
1. Profesi hakim adalah profesi yang
merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai
kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga
tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau
semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan
wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini
tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia,
tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya
tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum
karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia
wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini
dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi
kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan
yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang
hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah
secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa
mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban
secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada
lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan
dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
6. "Segala putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal
tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
7. Hakim wajib menjunjung tinggi
nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan
bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia
mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum,
panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu
bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena
itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu
profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat.
Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah
pokok sebagai berikut.
1. Profesi harus dipandang sebagai
pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas
dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam
mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu
berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan
berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu
pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang
hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus
sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan
kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
B. Tanggung Jawab
Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan akhir
profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat
dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein
(kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi.
Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa
awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments
for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di
bawah ini.
1. To hear corteously (mendengar
dengan sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan
arif dan bijaksana).
3. To consider soberly
(mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus
tidak berat sebelah).
Peradaban Islam pun memiliki
literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat ialah
risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di
Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara
pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam
risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.
1. Mempersamakan kedudukan para
pihak dalam majelis, pandangan, dan putusan sehingga pihak yang merasa lebih
mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak
berputus asa dalam usaha memperoleh keadilan hakim.
2. Perdamaian hendaklah selalu
diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian yang
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dalam bertingkah laku, sikap dan
sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma
Hakim, yaitu:
a. Kartika, melambangkan Ketuhanan
Yang Maha Esa;
b. Cakra, berarti seorang hakim
dituntut untuk bersikap adil;
c. Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau
berwibawa;
d. Sari, berarti hakim haruslah
berbudi luhur atau tidak tercela; dan
e. Tirta, berarti seorang hakim
harus jujur.
Sebagai perwujudan dari sikap dan
sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika
kepribadian, yakni:
a. percaya dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa,
dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak
tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan
asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang
merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa
tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana,
berilmu;
i.
bersemangat
ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j.
dapat
dipercaya; dan
k. berpandangan luas.
C. Tanggung Jawab
Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yang terakhir
adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian
terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan
ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu,
penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya
juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan
tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar
kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai
hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Contoh
kasus
Tertangkapnya
Ketua MK Tampar Indonesia
Jumat, 04 Oktober 2013,
00:55 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil
Ketua DPR RI Pramono Anung menilai tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar oleh penyidik KPK yang diduga menerima suap terkait sengketa pemilihan
kepala daerah menjadi tamparan bagi Indonesia. "Apalagi Indonesia akan
segera menjadi tuan rumah konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation)
di Bali pada pekan depan," kata Pramono Anung pada diskusi
"Dialektika: Menjelang Sidang SEAPAC di Indonesia" di Gedung
MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (4/10).
Menurut Pramono selama ini Mahkamah
Konstitusi dikenal sebagai lembaga negara yang memiliki integritas tinggi. Sebanyak
sembilan hakim konstitusi yang menjadi anggota Mahkamah Konstitusi, dikenal
sebagai para pendekar yang gagah seperti manusia setengah dewa. Namun
penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh penyidik KPK di rumah dinasnya, di
Jakarta, pada Rabu (2/10), malam meruntuhkan paradigma Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga dengan integritas tinggi. Baik Mahkamah Konsitusi maupun Akil
Mochtar, kata dia, citranya menjadi rusak dan sulit diperbaiki.
Pramono menilai kewenangan Mahkamah
Konstitusi sesuai amanah UUD 1945 sesungguhnya adalah mengawal konstitusi dan
menjaga harmonisasi antara aturan perundangan dengan UUD 1945. Namun, dalam UU
Pemilu mengamanahkan agar sengketa pilkada diseleseaikan di Mahkamah
Konstitusi, padahal sengketa pemilu itu rawan godaan. "Ini yang membuat
sembilan anggota Mahkamah Konstitusi menjadi sulit dan bersentuhan langsung
dengan politik praktis," katanya.
Pramono mengusulkan, agar melalui
revisi UU Pemilu mnengembalikan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
konstitusi. Sedangkan, sengketa pilkada agar diselesaikan melalui Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
Anasilis Kasus
Kasus yang menimpa Ketua Mahkamah
Konstitusi seakan menyayat hati masyarakat, begitu kejam dan tidak
berperikemanusiaan. Rakyat hanya menjadi objek pemuas kekuasaan. Kasus tersebut
seakan membuka mata kita semua bahwa para penegak keadilan kita tak ubahnya
adalah para penjilat. Sikap visioner dan revolusioner tidak lagi melebur dalam
hati para penegak keadilan di negeri ini. Etika sebagai penegak hukum dan
keadilan dinegeri ini sudah hilang.
Kasus
tersebut dapat kita pelajari dari etika-etika sebagai penegak hukum dan
keadilan.
a.
Etika Deontologi
Yaitu
Menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Tiga
prinsip yang harus dipenuhi :
·
Supaya
suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan
kewajiban.
·
Nilai
moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan
itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan itu-berarti kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu
sudah di nilai baik.
·
Sebagai
konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari
tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Kasus diatas ditinjau dari segi
etika deontologi, jelas-jelas salah, karena kewajiban sebagai penegak hukum dan
keadilan adalah untuk menegakkan hukum, bukan malah mempermainkan hukum.
b.
Etika Teleologi
Yaitu mengukur baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Misalnya, mencuri bagi
etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya
tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu.
Kasus diatas ditinjau dari etika
teleologi tindakan jaksa tersebut juga tidak bisa dibenarkan, karena tujuannya
memperkaya diri dengan cara merugikan orang lain, dan menyalahgunakan
jabatannya, jelas-jelas melanggar kode etik seorang penegak hukum dan keadilan.
c.
Teori Hak
Hak merupakan milik seseorang yang
harus atau wajib dipenuhi oleh pihak lain, apakah itu oleh individu ataupun
oleh lembaga.
Kasus Ketua MK tersebut ditinjau
dari teori hak, hak dari seorang hakim ketua Mahkamah Konstitusi adalah
menerima gaji dan tunjangan lainnya yang sah sesuai dengan hukum. Jadi kasus
diatas tidak bisa dibenarkan dari teori hak. Suap yang diterimanya bukan
termasuk haknya, tetapi suap tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap
Negara.
Ditinjau dari sosial budaya
masyarakat dari setiap daerah yang ada di negara ini bahwa tindakan Ketua
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada bisa memberi toleransi, semua lapisan
masyarakat memandang bahwa tindakan tersebut tidak punya etika karena telah
merugikan negara dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.
Kasus suap yang menimpa Ketua
Mahkamah Konstitusi termasuk kejahatan
dalam bidang Administrasi. Kejahatan tersebut berupa penyalahgunaan wewenang
kekuasaan kehakiman dari seorang ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya
memberikan keadilan justru menghianati keadilan.
Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan bahwa :
1. kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
2. kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah
konstitusi.
3. badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Penegasan dan penjabaran pengertian
kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 tersebut dituangkan dalam Pasal 1
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.”
Dari penjelasan pasal diatas dapat
dinyatakan bahwa perilaku yang ditunjukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil
Muchtar) sebagai penegak hukum dan keadilan bertentangan dengan undang - undang
dasar Negara Republik Indonesia.
Kewenangan-kewenangan Mahkamah
Konstitusi dapat dilihat dari Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merumuskan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) .
Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk :
1)
menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2)
memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar;
3)
memutus
pembubaran partai politik;
4)
memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam kasus ini Ketua Mahkamah
Konstitusi menyalahgunakan kewenangan-kewenangannya dalam hal memutus
perselisihan sengketa pemilihan kepala daerah di Lebak. Dalam hal ini jika
dikorelasikan dengan pasal 24 ayat (1) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Jelas apa yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia
pasal 24 ayat (1) dan pasal 24C ayat (1) karena yang dilakukan tidak mengandung
unsur-unsur keadilan sebagaimana tertuang dalam pasal tersebut.
Hal ini tak lain adalah merupakan
hasil dari kemerosotan dan profesionalisme seorang penengak hukum dan keadilan.
Semoga hal ini tidak membuat masyarakat berlarut-larut dalam ketidak
percayaannya terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat bisa membangun
kembali kepercayaan terhadap para aparat penegak hukum dan keadilan yang telah
tercederai dengan adanya kasus ini.
Kesimpulan
Maka
dari pembahasan di atas yang telah saya jabarkan dan dapat disimpulkan bahwa:
a.
Setiap
bidang profesi mempunyai nilai-nilai yang merupakan pedoman dalam prikehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikianlah, pada lingkungan profesi hakim
Indonesia, terdapat kode etik profesi. Kode etik profesi hakim Indonesia,
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di indonesia walaupun tentunya juga
mengandung nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman.
b.
Fungsi
dan tugas hakim adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada
dasarnya adalah mengadili.
c.
Lembaga
untuk memantau, memeriksa, membina dan untuk merekomendasikan tingkahlaku hakim
yang melanggar atau diduga melanggar kode etik profesi hakim dalam menjalankan
tugasnya dibentuklah komisi kehormatan profesi hakim dan pengawasan hakim.
d.
Pencabutan
kode etik tersebut bisa membuka peluang seorang hakim untuk menyalah guna kan
wewenang yang diembannya. Kode etik menurutnya merupakan moral yang mendasari
penggunaan wewenang yang terkait dengan pelaksanaan hukum.
Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di
dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu,
adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam
aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah
unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar