Rabu, 19 Februari 2014

etika profesi hukum

Pendahuluan
            Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
            Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
            Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
            Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
            Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965. Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY.
            Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.
            Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
            Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
            Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.      kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2.      proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3.      belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses);
4.      semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
5.      tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
            Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
Pembahasan
A. Profesi Hakim dan Karakteristiknya
            Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
            Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.
1.      Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2.      Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.      Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4.      Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5.      Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:

6.      "Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
7.      Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
            Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
1.      Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2.      Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3.      Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4.      Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
            Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
B. Tanggung Jawab Moral Hakim
            Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini.
1.      To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2.      To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3.      To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4.      To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
            Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.

1.      Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, dan putusan sehingga pihak yang merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa dalam usaha memperoleh keadilan hakim.
2.      Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
            Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
a.       Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
b.      Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
c.       Candra, berarti  hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
d.      Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
e.       Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
            Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a.       percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c.       berkelakuan baik dan tidak tercela;
d.      menjadi teladan bagi masyarakat;
e.       menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f.       tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g.       bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h.      berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i.        bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j.        dapat dipercaya; dan
k.      berpandangan luas.
C. Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim
            Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.



Contoh kasus
Tertangkapnya Ketua MK Tampar Indonesia
Jumat, 04 Oktober 2013, 00:55 WIB
            REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung menilai tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh penyidik KPK yang diduga menerima suap terkait sengketa pemilihan kepala daerah menjadi tamparan bagi Indonesia. "Apalagi Indonesia akan segera menjadi tuan rumah konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Bali pada pekan depan," kata Pramono Anung pada diskusi "Dialektika: Menjelang Sidang SEAPAC di Indonesia" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (4/10).
            Menurut Pramono selama ini Mahkamah Konstitusi dikenal sebagai lembaga negara yang memiliki integritas tinggi. Sebanyak sembilan hakim konstitusi yang menjadi anggota Mahkamah Konstitusi, dikenal sebagai para pendekar yang gagah seperti manusia setengah dewa. Namun penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh penyidik KPK di rumah dinasnya, di Jakarta, pada Rabu (2/10), malam meruntuhkan paradigma Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga dengan integritas tinggi. Baik Mahkamah Konsitusi maupun Akil Mochtar, kata dia, citranya menjadi rusak dan sulit diperbaiki.
            Pramono menilai kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai amanah UUD 1945 sesungguhnya adalah mengawal konstitusi dan menjaga harmonisasi antara aturan perundangan dengan UUD 1945. Namun, dalam UU Pemilu mengamanahkan agar sengketa pilkada diseleseaikan di Mahkamah Konstitusi, padahal sengketa pemilu itu rawan godaan. "Ini yang membuat sembilan anggota Mahkamah Konstitusi menjadi sulit dan bersentuhan langsung dengan politik praktis," katanya.
            Pramono mengusulkan, agar melalui revisi UU Pemilu mnengembalikan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. Sedangkan, sengketa pilkada agar diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
Anasilis Kasus
            Kasus yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi seakan menyayat hati masyarakat, begitu kejam dan tidak berperikemanusiaan. Rakyat hanya menjadi objek pemuas kekuasaan. Kasus tersebut seakan membuka mata kita semua bahwa para penegak keadilan kita tak ubahnya adalah para penjilat. Sikap visioner dan revolusioner tidak lagi melebur dalam hati para penegak keadilan di negeri ini. Etika sebagai penegak hukum dan keadilan dinegeri ini sudah hilang.
Kasus tersebut dapat kita pelajari dari etika-etika sebagai penegak hukum dan keadilan.
a.      Etika Deontologi
Yaitu Menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Tiga prinsip yang harus dipenuhi :
·         Supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
·         Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu-berarti kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah di nilai baik.
·         Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
            Kasus diatas ditinjau dari segi etika deontologi, jelas-jelas salah, karena kewajiban sebagai penegak hukum dan keadilan adalah untuk menegakkan hukum, bukan malah mempermainkan hukum.

b.      Etika Teleologi
            Yaitu mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Misalnya, mencuri bagi etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu.
            Kasus diatas ditinjau dari etika teleologi tindakan jaksa tersebut juga tidak bisa dibenarkan, karena tujuannya memperkaya diri dengan cara merugikan orang lain, dan menyalahgunakan jabatannya, jelas-jelas melanggar kode etik seorang penegak hukum dan keadilan.
c.       Teori Hak
            Hak merupakan milik seseorang yang harus atau wajib dipenuhi oleh pihak lain, apakah itu oleh individu ataupun oleh lembaga.
            Kasus Ketua MK tersebut ditinjau dari teori hak, hak dari seorang hakim ketua Mahkamah Konstitusi adalah menerima gaji dan tunjangan lainnya yang sah sesuai dengan hukum. Jadi kasus diatas tidak bisa dibenarkan dari teori hak. Suap yang diterimanya bukan termasuk haknya, tetapi suap tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap Negara.
            Ditinjau dari sosial budaya masyarakat dari setiap daerah yang ada di negara ini bahwa tindakan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada bisa memberi toleransi, semua lapisan masyarakat memandang bahwa tindakan tersebut tidak punya etika karena telah merugikan negara dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.
            Kasus suap yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi termasuk  kejahatan dalam bidang Administrasi. Kejahatan tersebut berupa penyalahgunaan wewenang kekuasaan kehakiman dari seorang ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya memberikan keadilan justru menghianati keadilan.
            Mahkamah Konstitusi sebagai salah  satu  pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan bahwa :
1.      kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2.      kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
3.      badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
            Penegasan dan penjabaran pengertian kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 tersebut dituangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :
            “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
            Dari penjelasan pasal diatas dapat dinyatakan bahwa perilaku yang ditunjukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Muchtar) sebagai penegak hukum dan keadilan bertentangan dengan undang - undang dasar Negara Republik Indonesia.
            Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) .
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
1)                  menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2)                  memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh           Undang-Undang Dasar;
3)                  memutus pembubaran partai politik;
4)                  memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
            Dalam kasus ini Ketua Mahkamah Konstitusi menyalahgunakan kewenangan-kewenangannya dalam hal memutus perselisihan sengketa pemilihan kepala daerah di Lebak. Dalam hal ini jika dikorelasikan dengan pasal 24 ayat (1) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jelas apa yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia pasal 24 ayat (1) dan pasal 24C ayat (1) karena yang dilakukan tidak mengandung unsur-unsur keadilan sebagaimana tertuang dalam pasal tersebut.
            Hal ini tak lain adalah merupakan hasil dari kemerosotan dan profesionalisme seorang penengak hukum dan keadilan. Semoga hal ini tidak membuat masyarakat berlarut-larut dalam ketidak percayaannya terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat bisa membangun kembali kepercayaan terhadap para aparat penegak hukum dan keadilan yang telah tercederai dengan adanya kasus ini.
Kesimpulan
Maka dari pembahasan di atas yang telah saya jabarkan dan  dapat disimpulkan bahwa:
a.       Setiap bidang profesi mempunyai nilai-nilai yang merupakan pedoman dalam prikehidupan profesi yang bersangkutan. Demikianlah, pada lingkungan profesi hakim Indonesia, terdapat kode etik profesi. Kode etik profesi hakim Indonesia, didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di indonesia walaupun tentunya juga mengandung nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
b.      Fungsi dan tugas hakim adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili.
c.       Lembaga untuk memantau, memeriksa, membina dan untuk merekomendasikan tingkahlaku hakim yang melanggar atau diduga melanggar kode etik profesi hakim dalam menjalankan tugasnya dibentuklah komisi kehormatan profesi hakim dan pengawasan hakim.
d.      Pencabutan kode etik tersebut bisa membuka peluang seorang hakim untuk menyalah guna kan wewenang yang diembannya. Kode etik menurutnya merupakan moral yang mendasari penggunaan wewenang yang terkait dengan pelaksanaan hukum.
            Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar