Senin, 17 Desember 2012

PTUN



Pendahuluan

Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan Pemerintah harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh hukum. Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang-Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya-sendiri. Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum”, ternyata terdapat perbedaan penggunaan istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat (Kontinental) seperti F.J. Stahl menggunakan istilah“Rechtsstaat, dan merumuskan 4 (empat) unsur pokok rechtsstaat itu sebagai berikut:

a) Pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia;

b) Negara didasarkan pada teori trias politica;

c) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur)

d) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

Sedangkan di negara-negara Anglo-Saxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori oleh A.V. Dicey dengan sebutan rule of law. Konsep ini menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utamanya yaitu:

a) . Supremasi hukum atau supremacy of law;

b) . Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law; dan

c) . Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan.

Dari pemaparan diatas terlihat perbedaan maupun persamaan antara rule of law menurut sistem Anglo Saxon dengan rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum. Sementara dalam rule of law, Tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan umum.

Hal ini disebabkan karena dalam rule of law lebih mengedepankan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), sehingga eksistensi peradilan administrasi di pandang tidak perlu. Prinsip equality before the law telah mengandung adanya suatu persamaan antara rakyat dan pemerintah (pejabat administrasi), yang dicerminkan dalam peradilan, maka rakyat dan pemerintah sama-sama tunduk dan patuh terhadap hukum serta memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Asas equality before the law menghendaki tidak adanya diskriminasi ketika hukum diterapkan dan semua pihak berada pada kedudukan yang sama. Adapun persamaannya antara lain keduanya (baik rechtsstaat maupun rule of law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremsi hukum”, dan prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan negara untuk mencegah munculnya perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa yang dapat melanggar hak asasi manusia. Oleh karena Indonesia sistem hukumnya berkiblat ke Eropa Kontinental, maka Negara Indonesia pun dalam hal mewujudkan suatu negara hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana yang dianut negara eropa kontinental. Keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan hak-haknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusanatau kebijakan yang dikeluarkannya. Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa (PTUN) diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan hukum.

Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu PTUN dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh S.F Marbun, tujuan pembentukan PTUN adalah untuk memberikan perlindungan terhadap semua warga negara yang merasa haknya dirugikan-sekalipun hal itu dilakukan oleh alat negara sendiri. Disamping itu untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa keadilan dalam masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan, yang sekaligus merupakan public servicenegara terhadap warganya. Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo,[17] tujuan dibentuknya peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk melindungi warga masyarakat yang kepentingan hukumnya seringkali tertindih atau terjepit dengan semakin luasnya campur tangan penguasa ke dalam kehidupan masyarakat. melalui PTUN masyarakat dapat menggugat penguasa dan mendapatkan tindakan korektif dari PTUN. Dengan demikian PTUN adalah sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN) diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi negara akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi (PTUN) sesuatu yang wajib, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah. Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik perorangan maupun kelompok, dengan Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat KTUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat UU PTUN 2004) junto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat UU PTUN 1986) menyebut sengketa tersebut sebagai sengketa TUN. Sengketa TUN muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, Pejabat TUN dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian.

Dalam UU PTUN 1986 dikenal ada dua jalur penyelesaian sengketa TUN yaitu: (1) melalui upaya administratif.

(2) melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Menurut Indroharto, upaya administrasi merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas) yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif. Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa TUN tersebut melalui Upaya Administratif, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke PTUN atau dengan kata lain Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di PTUN menurut UU PTUN ada 2 pihak, yaitu:

(1) Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN baik di pusat atau di daerah.

(2) Pihak tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)

Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.

Bentuk upayaadministrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

2. Gugatan dan Mekanisme Pengajuan Gugatan
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan.[31]
Gugatan di PTUN diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu KTUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di PTUN. Sebagaimana dinyatakan dalam UU PTUN 1986 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut:
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.[32]
Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak sebagai Subjek Penggugat di PTUN, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
Selanjutnya UU PTUN 2004 Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah:[33]
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas asas umum pemerintahan yang baik. Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b.nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.
Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut :“ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ”.
Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan
Pasal 55 menyebutkan bahwa :“ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan ”.
Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.
Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).

5) BENTUK UPAYA ADMINISTRASI DAN CARA PENGUJIANNYA

Berdasarkan penjelasan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun

1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, bentuk upaya administrasi ada 2 (dua) yaitu :

1. Banding administrasi;

2. Keberatan

Ad :

1) Banding administrasi;

Apabila penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersbut dilakukan

oleh instasi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang

menerbitkan Keptusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Contoh :

􀂾 Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK)

berdasarkan No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS;

􀂾 Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat

(P4P) berdasar Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964

tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;

􀂾 Keputusan Gubernur, berdasar pasal 10 ayat (2) Undang-Undang

Gangguan, Staasblad 1926 No. 226;

􀂾 Keputusan Panitia Tenaga Kerja Migas di lingkungan Departemen

Pertambangan bagi perusahaan minyak dan gas bumi

(PERTAMINA);

􀂾 Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31 Tahun 1995,

sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989

tentang Paten;

􀂾 Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun 1995,

sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992

tentang Merek;

􀂾 Majelis Pertimbangan Pajak sebagai banding administrasi

perpajakan;

􀂾 Dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan milik Negara dari

PERJAN dan PERUM menjadi PERSERO (BUMN) tersebut

membuat ketentuan sendiri tentang operasional, kepegawaian, dll.

2). Keberatan ;

Apabila penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus

dilakukan sendiri oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.

Contoh :

􀂾 Pasal 27 Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang ketentuan-

Ketentuan Umum Perpajakan;

􀂾 Pemberian hukuman disiplin sedang dan berat (selain

pemberhentian dengan hormat dan tidak dengan hormat bagi

(PNS).

Pengujian (Toetsing) dalam upaya administrasi berbeda dengan

pengujian di Peradilan Tata Usaha Negara. Di Peradilan Tata Usaha

Negara pengujiannya hanya dari segi penerapan hukum sebagaimana

ditentukan pasal 53 ayat (2) huruf (a) dan (b) Undang-Undang No. 9

Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu apakah keputusan Tata

Usaha Negara tersebut diterbitkan dengan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar Asas-Asas

Umum Pemerintah Yang Baik (AAUPB), sedangkan pada prosedur upaya

administrasi, pengujiannya dilakukan baik dari segi penerapan hukum

maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus, sehingga

pengujiannya dilakukan secara lengkap.

Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara

lengkap suatu Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas

(Rechtmatigheid) maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para

pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah (Win

or Loose) seperti halnya di lembaga peradilan, tapi denganpendekatan

musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat terjadi pada tingkat

obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang

menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya

secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian

maksimal yang seharusnya ditempuh.6

Tidak semua peraturan dasar penerbitan Keputusan Tata Usaha

Negara mengatur mengenai upaya administrasi, oleh karena itu adanya

ketentuan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-

Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

merupakan aspek prosedural yang sangat penting yang berkaitan

dengan kompetensi atau wewenang untuk mengadii sengketa Tata

Usaha Negara.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 1991

tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Dalam Undang-Undang No. 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan :

IV.1. Yang dimaksud Upaya Adiministratif adalah :

a. Pengajuan surat keberatan (Bezwaarscriff Beroep) yang

diajukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan Keputusan (Penetapan/ Beschikking) semula;

b. Pengajuan banding administratif (administratif Beroep)

yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan

Tata Usaha Negara yang disengketakan.

IV.2. a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya

upaya administratif berupa peninjauan surat keberatan,

maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang

bersangkutan diajukan kepada pengadilan Tata Usaha

Negara;

b. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya

adiministratif berupa surat keberatan dan atau mewajibkan

surat banding administratif, maka gugatan terhadap

Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam

tingkat banding administratif diajukan langsung kepada

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama

yang berwenang.

Ketentuan tersebut sesuai pula dengan ketentuan yang diatur

dalam pasal 48 ayat (2) yang menyatakan “pengadilan baru berwenang

memeriksa, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang

bersangkutan telah digunakan “ jo ketentuan pasal 51 ayat (3)

ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa dimungkinkan adanya

administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara apabila keputusannya merupakan keputusan

banding administrative

.

6 Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH.,MH, Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara,

PT. Pramedya Pustaka, Jakarta, 1999, hal.8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar